Setelah semalaman tak bisa memejamkan mata , tiba tiba saja sekitar menjelang tengah malam Gie hadir di pikiranku. Gie hadir dengan senyumnya yang khas dan dibalut baju kotak kotak. Aku tanya,"Adakah yang ingin kau sampaikan padaku, Gie?". Lalu akupun memutar lagu "Dona Dona" yang dinyanyikan Joan Baez, lagu yang sangat disukai Gie. On a wagon bound for market, there's a calf with a mournfull eye. High above him there's a swallow, winging swiftly to the sky.. How the wind are laughing..they laugh with all their might.. Laugh and laugh the whole day through and half the summer's night.. Larik demi larik lagu itu membawa diriku dalam sebuah situasi diskusi imaginer dengan Gie. Kami bertukar pikiran tentang banyak hal. Tentang bangsa ini, tentang carut - marut politik, tentang penindasan, dan tentang hidup itu sendiri. Sesekali obrolan kami sampai pada hal hal yang teramat kami sukai yaitu petualangan. Gie bercerita tentang pendakian - pendakiannya, saya pun mendengarkannya dengan antusias. Lalu sampai juga kami ngobrol tentang cinta. Tentang wanita - wanita yang pernah mencintai kami dan kami cintai. Tentang kenakalan - kenakalan saat pacaran..patah hati.. cemburu..tindakan tindakan konyol kami... hmm aku dan Gie jadi ketawa - ketawa geli... Dasar petualang.. umpat kami berdua.. Soe Hok Gie (lahir di Djakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia. Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Catatan Seorang Demonstran Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997). Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Hok Gie bersama kawan kawannya mendirikan Mapala Pradnya Paramita yang sekarang menjadi Mapala UI. (Ia berpikir bahwa naik gunung adalah cara untuk membentuk dirinya menjadi seorang yang terbaik) Hok Gie meninggal di gunung Semeru 16 Desember 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Gie di kubur di makam Kober, Jakarta namun karena Gubenur kala itu Ali Sadikin membongkar makam Kober maka tulang belulang Gie pun di kremasi oleh keluarganya. Beberapa teman Gie ingat pesannya berulang ulang bahwa jika dirinya meninggal, Gie ingin jenazahnya dikremasi dan ditaburkan di tempat yang dia cintai yaitu Lembah Mandalawangi di Puncak Gunung Pangrango. Akhirnya dengan persetujuan keluarga, abu jenazah Gie pun di taburkan di Lembah Mandalawangi di mana Gie bisa merasakan kedamaian jauh dari hiruk pikuk politik di Ibu Kota kala itu. John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997). Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie. Sebuah Puisi Gie yang sangat saya sukai adalah : MANDALAWANGI - PANGRANGO Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu aku datang kembali kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada hutanmu adalah misteri segala cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali Dan bicara padaku tentang kehampaan semua “hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar, terimalah dan hadapilah" dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara aku terima ini semua melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu aku cinta padamu Pangrango karena aku cinta pada keberanian hidup.. Jakarta 19-7-1966 Beberapa tulisan Gie dari buku hariannya : ".. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”. -Soe Hok Gie- “Menaklukan Gunung Slamet” Kompas, 14 september 1967. "Manisku, aku akan jalan terus.Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan. Bersama hidup yang begitu biru" -Soe Hok Gie- "Mari sini sayangku. Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku. Tegaklah ke langit luas atau alam yang mendung. Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak’kan pernah kehilangan apa-apa". (Cukilan salah satu puisi Gie) "Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini ...tidak pantas mati di tempat tidur." -Soe Hok Gie- “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” “Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…” ... but whoever treasures freedom like the swallow must learn to fly.. (larik terakhir lagu Dona Dona yg dinyanyikan Joan Baez) Selamat jalan, sampai jumpa lagi, Gie. *Gie pun tersenyum dan pergi menembus keremangan fajar yang masih dini* Semoga bermanfaat.. Salam Sukses dan Berkelimpahan Selalu Michael Antony Ugiono (Artikel ini juga pernah saya posting di account Facebook saya) [caption id="attachment_98010" align="alignnone" width="330" caption="Soe Hok Gie"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H