Mama membangunkanku setengah berteriak, “Rina... cepat bangun dan mandi! Nanti kamu bisa terlambat sekolah, lho!”
Suara mama cukup keras, tapi hanya terdengar samar-samar di telingaku. Aku seperti mendengar suara dari alam mimpi. Kubuka sedikit mataku, memutar pelan leher ke kanan agar mataku bisa menangkap cahaya mentari pagi yang membias dari kaca jendela. Wow... hari ini begitu cerah. Kesadaranku baru pulih delapan puluh persen. Aku melompat turun dari atas tempat tidur yang nyaman.
Kulirik jam dinding, ah, masih cukup pagi. Jarum pendek masih nggak terlalu jauh dari angka lima. Jarum panjang dalam perjalanan mendekati angka tujuh. Uh..Mataharinya aja yang kerajinan, pagi-pagi begini sinarnya sudah terang banget. Kirain sudah jam tujuh.
O iya, sekarang aku duduk di kelas lima SD. Sangat menyukai cokelat yang ada kacang almond-nya. Rasanya krenyes-krenyes gimana gitu... Aduh, krenyes-krenyes itu bahasa apa ya? Masa bodo akh! Padahal cokelat kacang almond itu mahal, karena kacang almond memang mahal. Konon, kacang ini gak tumbuh di Indonesia lho, tapi diimpor dari negeri-negeri di tanah Arab sana. Jauh banget, pantesan harganya mahal gitu.
Biarpun mahal begitu, kalau sudah suka ya suka aja. Titik gak pake koma. Saking suka, tiap kali tahu kalau mama akan ke supermarket atau mall, aku selalu pesan dibelikan cokelat kacang almond. Mama sudah hapal. Sering juga Mama membelikannya meski gak dipesan. Tapi aku gak pernah kasih pesan begitu ke Papa, bisa didampratnya. Ugh.. Eh, maaf Pah, Rina gak bermaksud bilang Papa jahat lho... Papa tetap baik kok. Kekurangannya hanya soal cokelat kacang almond doang... hihihiii...
Kusambar handuk dari rak di dekat pintu kamar dan langsung menuju kamar mandi. Berpapasan dengan Papa yang baru keluar dengan handuk melilit di pinggangnya. Papa terlihat agak buru-buru, siap-siap pergi kerja. Mungkin takut kena macet di jalan.
Usai mandi dan mengenakan seragam sekolah, aku menuruni tangga sambil menarik tas sekolahku yang besarnya seperti koper penumpang pesawat terbang itu. Menuruni tangga sambil menyeret tas besar itu sudah menjadi penderitaan rutin setiap pagi.
Sarapan bikinan Mama yang lezat sudah terhidang rapi seperti sedang upacara bendera. Sepertinya tadi Papa buru-buru jadi gak sempat sarapan. Pantasan meja makannya masih rapi. Usai sarapan, aku mengambil kotak bekal dan memasukkannya ke dalam tas mirip koper penumpang pesawat itu. Mama mewajibkanku membawa sarapan setiap hari agar tidak jajan sembarangan di sekolah.
Saat aku sedang mengenakan sepatuku, Abe, adik kecilku yang lucu dan nakal itu datang. Bocah lelaki berusia empat tahun itu sering bikin sebal. Mungkin aku sedikit membencinya karena sering berebut mainan. Oh, tidak, dia nggak nakal pagi ini. “Kakak... jangan pergi dong,” ujarnya sambil menarik tasku sampai dia sendiri nyaris jatuh saat koper penumpang pesawat yang berat itu mulai miring.
”Maaf Dek, tapi Kakak kan harus sekolah dulu. Nanti pulang sekolah baru Kakak bisa bermain denganmu,”kataku.
Aku menaiki sepeda kesayanganku, mendayung dengan riang menuju sekolah. Ya, aku biasa bersepeda ke sekolah karena jaraknya hanya beberapa ratus meter dari rumah. Tak sampai setengah jam aku sudah tiba di sekolah. Aku memarkir sepeda dan segera berjalan menuju kelas.
Ini hari Selasa, hari yang menyenangkan karena semua jadwal pelajaran hari ini paling kusuka; IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Klentang...klonteng...klentang...! Tak terasa sudah tiba waktunya pulang.
Kuambil sepedaku hendak pulang. Haduuh... mataharinya panas banget. Mungkin gara-gara hari ini dia bangunnya kepagian ya, jadi panasnya hampir dua kali lipat dari biasanya. Mau bagaimana lagi, aku harus bersepeda sambil membonceng koper penumpang pesawat di bawah terik matahari.
Ugh.. akhirnya sampai juga di rumah. Segera kulepaskan sepatu sekolahku. Kutinggalkan koper penumpang pesawat di lantai bawah. Biasanya tas sekolah itu baru kubawa ke kamar saat sore kalau hendak belajar. Usai berganti baju, aku segera turun untuk makan siang. Setelah selesai, adikku Abe menghampiri lalu menyodorkan sebuah kotak dibungkus kertas origami. Di depannya tertulis: “DARI ADIK”.
“Lho, kok Adek memberikan kado? Kan belum Natal?”tanyaku. “Kan hari ini hari ulang tahun Kakak,”jawabnya. “Oh iya.. hari ini memang hari ulang tahun Kakak yang ke sembilan. Makasih ya Dek,” ujarku pura-pura baru teringat sembari mencium kedua pipinya. Matanya berbinar-binar gembira.
Sebenarnya aku nggak lupa mengenai hari ulangtahunku ini. Malah sudah jauh-jauh hari memesan hadiah dari Papa-Mama. Hadiahnya pun bukan rahasia lagi karena sudah dijanjiin. Hadiah dari Papa tentu saja tas baru pengganti koper penumpang pesawat yang berat itu. Sedangkan Mama membelikan sepatu baru.
Hanya hadiah dari adik yang cukup mendebarkan. Hmmm... apa ya hadiah dari adik? Buru-buru ku sobek kertas origami pembungkus kado. Treng...teng teng.... ternyata adik memberiku dua lempeng cokelat almond kesukaanku. Hatiku sangat gembira karena ternyata adik juga tahu apa makanan kesukaanku.
Aku segera keluar dari kamar dan bertanya kepada adik. “Kok Adik tau kalo Kakak suka cokelat ini?” tanyaku. “Adek minta tolong Mama beli cokelat untuk kakak. Kan Adek juga mau kasih hadiah ulang tahun buat Kakak,” ujarnya.
Aku sangat terharu. Meskipun selama ini kami berdua kurang akur dan sering rebutan mainan, ternyata adikku yang nakal itu juga menyayangiku. “Terima kasih ya Dek. Ini hadiah ultah pertama yang Kakak terima dari Adek. Kakak senang banget. Makasih banget ya...,”ujarku sambil mencium kedua pipinya sekali lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H