Kadang anak-anak harus terdewasakan oleh masalah yang ada. Mereka pada akhirnya "terpaksa" harus menyelesaikan tugas-tugas di rumah pada saat kita harus pergi atau sedang sibuk dengan pekerjaan. Atau mereka akhirnya "terpaksa" harus mau belanja ke warung pada saat kondisi kita darurat. Mereka juga harus mengambil alih pekerjaan saat kita dalam kondisi sakita.
Dan sejatinya kita "berterima kasih" pada setiap kedaruratan yang ada. Karena anak-anak pun "terpaksa" harus berpikir. Dan konteks "terpaksa" tersebut tentu saja "terpaksa" yang memiliki "value". Bukan semata-mata "terpaksa" dalam pengertian "tidak berkenan" atau "penyesalan".
Mengapa kita harus berterima kasih pada kedaruratan? Karena tak setiap konteks itu ideal. Tak setiap anak memiliki orang tua yang lengkap, tak setiap anak memiliki fasilitas ekonomi yang memadai, tak setiap anak berada dalam lingkungan yang kondusif, tak setiap anak dapat dengan mudah menyerap pembelajaran, tak setiap anak prestisius berjodoh dengan kesempatan melanjutkan pendidikan, dan seterusnya. Jadi, mari kita tegaskan kembali pada diri kita masing-masing bahwa segala yang mengemka adalah PEMANTIK bagi setiap diri untu berpikir.
Bahkan dalam konteks berkompetisi, untuk beberapa tipe anak, dirinya  bisa berpikir keras agar dapat melampaui atau minimal dapat sepadan dengan kemampuan orang lain. Artinya, ketika dirinya tahu temannya telah mampu menambah sekian ayat Al-Quran, maka ia akan beringsut mengejar kondisi tersebut. Meski motifnya adalah untuk mempertahankan wibawa diri, namun insyaAllah tetap bernilai. Minimal, anak tersebut belajar tentang artinya "effort", di mana ia berpikir tentang bagaimana caranya "mempertahankan eksistensi".
Terkait modalitas berpikir, Stephen Covey (2005) menegaskan bahwa perwujudan tertinggi dalam pengembangan pikiran adalah visi. Visi itu sendiri adalah hasil dari pikiran yang menjembatani antara kebutuhan dengan kemungkinan kemungkinan. Artinya, ketika anak dilibatkan untuk "berpikir", maka artinya ia sedang menyiapkan visi untuk pertahanan hidupnya. Hal demikian sebagaimana telah diingatkan oleh Allah Swt. dalam salah satu ayat-Nya. "Musa berkata: Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk." (QS. Thaha: 50).
Kealamiaahn seorang manusia untuk senantiasa berpikir memang merupakan sesuatu yang lumrah dan sangat fitrah. Sehingga wajar bila berpikir menjadi sebuah patokan dalam berkehidupan. Artinya, kualitas kehidupan seseorang dipasok dan ditentukan oleh cara berpikirnya dalam beragam hal. Salah satunya adalah dalam menyelesaikan persoalan atau dalam menghadapi masalah. Bahkan dengan sengaja, seseorang melakukan perenungan agar dapat memiliki pemikiran yang berkualitas sehingga mampu menciptakan penemuan atau hal baru dalam kehidupannya.
Semoga kita senantiasa dimbimbing oleh Allah Swt. untuk mampu membuktikan sabar dan syukur dalam kehidupan. Sabar dalam berbagai kondisi yang ada, dan bersyukur dengan segenap kemungkinan yang masih mengemuka. Bukan lagi dan lagi berharap pada makhluk, atau lagi dan lagi berharap ditanggulangi.
Mari temani anak-anak kita untuk buktikan bahwa dirinya bisa tegak berdiri. Mari papah mentalitasnya agar tak terjebak pada gengsi. Karena hakikat dari kehidupan adalah kesiapan untuk berkorban. Dan itulah modalitas berpikir yang sejatinya ada.
Wallohu'alam. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H