3. Tafakuri semangat orang lain dalam kefokusannya membesarkan dan membimbing anak-anak. Bagaimana kehadiran anak menjadi motivasi untuk meningkatakan kapasitas dan kualitas hidup. Bagaimana mereka terus belajar demi memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.Â
4. Fokus pada produktivitas. Bukan fokus pada masalah kecil untuk kemudian dibesar-besarkan. Karena hakikat hidup itu untuk menebar manfaat, bukan untuk menghimpun mudarat.
5. Miliki semangat belajar. Karena dengan banyak belajar, cara berpikir otak kita akan menjadi lebih positif.Â
Jadi, keterampilan atau skill mengelola rasa, mengelola luka, mengelola dinamika, menjadi skill wajib ketika kita berkomitmen menjalani peran kerumahtanggaan.
Termasuk kehadiran anak-anak. Jangan sampai keegoisan kita sebagai suami atau sebagai istri, menutup cara pandang kita tentang nasib anak-anak.
Mereka itu butuh kiblat, di mana kiblaltnya adalah orang tuanya sendiri. Kiblat dalam hal emosi, motivasi, spiritual dan pandangan hidup. Nah, ketika hakikat kita adalah kiblat, maja taak tepat jika masih mengedepankan kekesalan tang ujung-ujungnya malah sangat kontraproduktif.
Bismillah. Setiap masalah niscaya akan tertuntaskan. Persoalannya, apakah kita siap berpikir dewasa atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H