Ayah Bunda yang dirahmati Allah.
Mungkin sering kita mendengar parenting islami. Apa kira-kira yang ada di benak Ayah Bundaketika mendegar parenting islami? Apakah parenting islami itu adalah parenting yang semata-mata mengajarkan salat dan mengaji? Apakah parenting islami itu adaah parenting  yang berkiblat pada cara Nabi Muhammad mendidik putra-putrinya? Apakah parenting islami adalah parenting yang hanya mengenalkan ayat-ayat Allah?
Hakikatnya tidak demikian. Karena parenting islami itu sendiri adalah spirit. Parenting islami itu ruh. Parenting islami itu karakter. Bukan sekadar disimbolkan oleh petika-petikan ayat dan hadits, bukan pula sekadar disimbolkan oleh pengulangan nama Nabi Muhammad Saw. sebagai guru peradaban.
Namun sejatinya, parenting islami itu adalah internalisasi dari nilai-nilai yang tertera, baik yang tertera dalam Al-Qur'an, dalam hadits dan dalam pribadi Rasulullah Saw.
Lebih jauh dari itu, parenting islami itu mengajarkan tentang akhlak dan adab, di mana di dalamnya termuat tentang tata cara berkomunikasi yang posistif dan efektif, persis yang dielaborasi dalam ilmu NLP atau Neuro Linguistic Program. Artinya, seorang Ibu atau seorang Ayah yang berupaya untuk menjaga kata-kata, menata bahasa, dan mendesain pola komunikasi sedemikian rupa kepada anak-anaknya, hakikatnya adalah parenting islami. Persis yang diajarkan dalam berbagai kitab tentang salah satu pribadi rasul yaitu lemah lembut dan menjaga tutur kata.
Selanjutnya, bagian dari parenting islami adalah bagaimana sepasang suami istri berkomitmen mendidik putra-putrinya dengan kedisiplinan. Disiplin dengan waktu, disiplin dengan tugas, disiplin dengan tanggung jawab pribadi dan lain-lain. Hal ini diinternalisasikan dalam regulasi keseharian seperti disiplin bangun tidur, disiplin makan, disiplin menyelesaikan tugas sekolah, dan sejenisnya.
Nah, jika ditafakuri lebih dalam, perihal disiplin ini memang -baik secara langsung maupun tidak langsung-, terajarkan oleh regulasi ibadah umat Islam. Artinya, ketika anak dikenalkan dengan disiplin bangun pagi, maka melekat padanya untuk secara sekaligus disiplin menunaikan salat subuh. Demikian pula dengan disiplin menunaikan waktu salat wajib yang lainnya mulai dari dzuhur hingga isya. Hakikatnya adalah pengingat atau reminder agar anak-anak sadar dengan waktu. Saatnya adzan dzuhur, mereka diingatkan untuk menjeda aktivitas, dan seerusnya.
Bahkan perihal disiplin ini, ada seorang ustadz yang concern di bidang parenting yang meyakini bahwa membangun karakter anak atau membangun kesalehan generasi itu dimulai dari bangun pagi. Secara sekelebat, mungkin saja atau bisa jadi kita bertanya-tanya. Tetapi ketika dimaknai lebih dalam, memang benar adanya abhwa karakter itu dibangun dari pola bangun pagi.
Selain adab berbicara dan disiplin, kepribadian rasulullah Saw pun menjadi spirit pembangunan karakter anak. Sebaliknya, anak tidak sekadar hafal siapa Nabi Muhammad, dilahirkan di mana dan merupakan nabi ke berapa? Melainkan bagaimana akhlak qur'ani yang dimiliki oleh Rasulullah Saw, dapat dikiblati atau dijadikan cermin dalam kehidupan sehari-hari. Bagaiamana performa kesabaran Nabi Muhammad saat menghadapi masalah, bagaimana sisi leadership nabi Muhammad dalam memimpin tim atau pasukannya. Serta bagaimana spirit kemandirian ekonomi dan spirit berbisnis Rasulullah Saw dapat menjadi sumber inspirasi dalam menjalani kehidupan ekonomi hari ini. Secara konkret, anak bisa dikenalkan konsep market day, dengan berupaya memenuhi teknik atau cara bermuamalah yang baik dan benar tanpa unsur kecurangan dan keegoisan.
Demikian pula dengan momentuk Isra Mi'raj. Anak-anak kita tidak saja difasilitasi panggung untuk tampil ke depan sambil membawakan puji-pujian dan selawatan. Namun lebih jauh dari itu, bagaimana mereka dikenalkan peristiwa istimewa yang di luar nalar manusia namun menjadi sebuah penegas keimanan, bernama peristiwa Isra Mi'raj.
Karena jika kita tidak menanamkan nilau-nilai atau esnesi yang terkandung di dalam Isra Mi'raj, di mana anak-anak hanya mendapat kesan hajatannya saja atau hanya mendapat kesan keramaian gelarannya saja, dikhawatirkan anak-anak tidak paham tentang siapa itu Nabi Muhammad. Ini yang barangkali menjadi PR untuk kita semua. Bahwa parenting islami tak cukup dengan simbol-simbol, melainkan dapat diinternalisasi, bak secara afektif maupun psikomotorik.