Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gagap Analogi

26 Februari 2022   15:50 Diperbarui: 26 Februari 2022   15:52 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Diakui atau tidak, adanya analogi batau pengibaratan, itu cukup membantu pendengar atau audiens manakala sedang menerima penyampaian materi tertentu, baik yang sifatnya formal seperti pidato atau perkuliahan, maupun yang sifatnya nonformal seperti obrolan atau diskusi alamiah.

Selain membantu audiens memahami apa yang disampaikan, juga menjadi sebuah motivasi tersendiri perihal yang dibahas. Dalm hal ini pendengar digiring menuju kedalaman makna atau dibawa berfilosofi, sehingga meluaslah makna yang didapat.

Namun persoalannya, tak jarang para speaker yang kemudian sampai pada sebuah titik, di mana dirinya bingung bahkan stuck untuk memberi perumpamaan atas konteks yang dipaparkannya. Pada akhirnya, karena idealnya "terpaksa" harus memberikan perumpamaan, maka mengalirlah analogi-analogi yang kurang pas ataua kurang tepat atau tidak kontekstual.

Jika kita mau menelisik beberapa kejadian, hal semacam ini sebetunya banyak terjadi. Bahkan saya sendiri di mana salah satu pekerjaannnya adalah bekerja di hadapan audiens, secara berulang mengalami kemandegan memberikan analogi. Di menit di mana saya harus beranalogi, itu betul-betul mengeluarkan jurus semampu diri untuk memberikan analogi yang pas.

Seorang juru dakwah yang juga seorang selebgram Okky Setiana Dewi pun sempat menuai pro kontra dari netizen terkait analogi kesabaran yang beliau sampaikan. Ustadzah Okky mengemukakan bahwa seorang istri yang baru saja dipukuli oleh suaminya, lantas pada saat orang tuanya berkunjung di menit dia menangis kesakitan, perempuan tersebut dengan secepat kilat mencari alasan atas sembab matanya. Perempuan tersebut tak menceritakan kejadian yang sebenarnya alias berupaya menutup apa yang tengah terjadi padanya. 

Dalam pandangan saya, jika menggunakan konsep mindfulness, maka analogi yang disampaikan oleh Okky Setiana Dewi itu benar. Mengapa? Karena pesan yang dia giring adalah luluh atau berbalik pikirnya seorang suami melihat sang istri yang telah berjuang menutup aib dirinya. Ending-nya, si suami begitu sayang dan begitu kagum.

Namun ketidaksepamahaman pendapat pun tak sedikit. Terlebih mereka yang melihat videonya hanya dalam bentuk potongan alias tanpa memahami lebih jauh apa yang dimaksud oleh Okky Setiana Dewi dalam ceramahnya. Walhasil, pro kontra pada akhirnya menjadi wajar. Mengapa? Karena bisa jadi ada sebagian banyak orang yang begitu sensitif mendengar konteks KDRT (Kekerasan daam Rumah Tangga). Sedangkan oleh Okky Setiana Dewi dijadikan bahan analogi.

Selanjutnya, baru-baru ini ramai para netizen mengomentari dan menyayangkan analogi Menteri Agama RI yang baru saja membahas tentang pengaturan toa masjid di mana konteks tersebut dianalogikan dengan suara gonggongan anjing. Ini pun sangat wajar menuai pro kontra. Apa sebab? Ketergangguan toa masjid (tepatnya suara adzan) dianggap sepadan dengan ketidaknyamanan yang dihasilkan dari suara gonggonan anjing.

Reaktif? Pun sangat wajar. Karena ini bagian dari kegtersinggungan RAS. Mungkin sekian banyak rang Muslim merasa tersinggung. Sebaliknya, sekian banyak Nonmuslim, belum tentu secara rata memiliki rasa yang sama di mana suara toa masjid itu dianggap mengganggu.

Fenomena tersebut lagi-lagi menjadi ladang tafakur. Bahwa kita sebagai makhluk sosial, penting berhati-hati menakar kata dan menjaga lisan. Bahkan salah satu idiom yang terkenal di tanah Sunda, "Hade ku basa goreng ku basa". Artinya adalah bahwa bahasa yang kita ucapkan, akan menunjukkan baik dan buruknya sikap maupun kepribadian kita. Pun sebuah preseden, bisa mengemuka hanya tersebab sebuah kata atau sebuah kalimat yang kita ucapkan.

Semoga kehati-hatian kita menjaga lisan, dapat menembus esensi toleransi. Bahwa toleransi bukan sekadar memahami sebuah sisi, melainkan secara adil menakar keberadaan sisi yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun