Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradoks Hak Belajar

12 Februari 2022   17:39 Diperbarui: 12 Februari 2022   17:53 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah Bunda yang dirahmati Allah. Salah satu bentuk keterpasungan bangsa kita pada masa kolonialisme Belanda adalah tiadanya hak pendidikan. Yang berhak mendapat pendidikan pada saat itu hanyalah keturunan golongan Belanda. Kalaupun bisa didapat oleh kaum pribumi, hanya untuk sebagian kecil kalangan tertentu (kalangan priyayi).

Seiring dinamika zaman, bahkan pada hari ini di mana masyarakat dunia sudah berada dalam kondisi gandrung teknologi. Berbagia buku sumber bisa didapat dengan mudahnya, baik cetak maupun digital. Pun berbagai pelatihan mengemuka dari masing-masing official penyelenggara, baik dinas maupun swasta. Demikian pula dengan pilihan sekolah yang bisa diakses, dipilih dan dipertimbangkan dengan merdeka.

Artinya, ruang belajar itu tidak saja melimpah bagi anak-anak yang memang berdasarkan kebutuhan termasuk dalam kebutuhan dasar. Namun kondisi melimpah itu juga berbanding lurus dengan orang dewasa. Para guru dan para pengampu profesi lainya dapat menumbuhkan kapasitasnya melalui beragai pilihan kelas. Pun para orang tua. Beragam kelas bisa diakses, sekian inspirasi bisa didapat dengan mudahnya.

Maka logika sederhananya, kita bisa jauh lebih maju daripada orang tua kita terdahulu, baik dari sisi pengetahuan, emosi maupun keterampilan. Tersebab apa? Tersebab setaranya hak untuk belajar, bahkan tersebab melimpah ruang belajar.

Namun tak jarang, kondisi menunjukkan bahwa di antara kita sebagai orang tua maupun sebagai profesional mengalami demotivasi, mengalami kemunduran karya, bahkan mengalami kelemahan penguasaan. Misalnya, bagaimana orang tua kita di zaman serba terbatas, namun masih dapat menguasai perannya sebagai orang tua dengan imbang. Bagaimana para guru di zaman dulu dengan teknologi yang masih alakadarnya bahkan terbatas, sanggup menginternalisasi konsep "merdeka belajar".

Pengasuhan, pembelajaran, pendidikan, tiada pernah dari yang namanya refleksi alias muhasabah perjalanan. Maka berupaya mengazzamkan perbaikan menjadi sebuah keniscayaan. Perbaikan diri sebagai orang dewasa yang didaulat secara fitrah untuk memapah generasi. Orang tua memapah proses belajar putra-putrinya. Para guru memapah proses belajar murid-muridnya.

Peluk erat untuk Ananda di mana berada. Semoga kekuatan doa yang tulus dan pemaknaan hakikat belajar, menjadi sebaik-baik lumbung energi yang menguatkan

Terima kasih dan salam pengasuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun