Pandemi COVID-19, menghadirkan ragam dampak istimewa pada hampir semua segmen kehidupan, tidak terkecuali pada dunia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD. Salah satunya adalah dengan berubahnya ruang kesempatan anak-anak untuk bereksplorasi dalam aktivitas bermain. Tepatnya, ruang bermain konstruktif. Terkait hal ini, Hurlock (1978: 330) menegaskan bahwa bermain konstruktif merupakan bentuk bermain di mana anak-anak merupakan sebuah tujuan kegembiraan yang diperoleh anak-anak dari konteks membuatnya.
Pandemi juga telah melahirkan anomali dalam dunia pendidikan anak usia dini, di mana kebutuhan bermain dan  bergerak terpaksa tak dapat berbanding lurus dengan terbatasnya kondisi. Artinya, di satu sisi anak butuh kebebasan untuk bermain, sementara di sisi lain anak bisa dikatakan kehilangan lingkungan belajar. Padahal Montessori menegaskan bahwa lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan anak dapat bereaksi secara bebas dan mengembangkan dirinya sendiri dalam garis-garis pikirannya sendiri, sebagaimana dipaparkan oleh Heinstock (2002).
Bagi anak, bermain memang merupakan dunia yang krusial bagi dirinya untuk menyerap berbagai pengalaman, serta sebaliknya yakni untuk megekspresikan perasaan mereka terhadap ruang-ruang sosial sekitar. Bahkan dari 10 butir Konvensi Hak Anak yang dideklarasi oleh oraganisasi PBB, hak bermain adalah poin pertama. Ini menegaskan bahwa kehidupan anak butuh sarana bermain. Sementara itu, dipaparkan oleh Unicef (2020) bahwa meskipun nyaris 47 juta rumah tangga (66 persen) memiliki akses internet, pembelajaran jarak jauh secara daring masih menyimpan tantangan. Jelas benar apa yang disampaikan Unicef, di mana masih banyak kebutuhan anak yang belum terakomodasi, dalam hal ini, kebutuhan bermain.
Pengamatan di Lapangan
Salah satun problematika tak terhindarkan yang didapat langsung di lapangan terkait dengan masalah hak bermain anak adalah mudah teralihkannya aktivitas anak-anak terhadap gadget. Artinya, aktivitas bermain gadget seolah menjadi muara atas rangkaian kegiatan anak di rumah. Dalam istilah lain, apa pun aktivitasnya, ujung-ujungnya adalah gadget. Bahkan untuk aktivitas menyelesaikan kuis yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit, anak bisa melanjutkannya dengan mengakrabi smartphone selama berapa kali lipat dari durasi menyelesaikan tugas.
Fenomena tersebut tidak bisa lepas dari berkurangnya hak bermain. Artinya, ketika di luar masa pandemi anak-anak bisa mengelaborasi rasa penasaran yang dimilikinya dengan cara bermain, anak juga bisa memuaskan hasrat berteman melalui bermain, bahkan anak bisa menikmati atmosfer sekolah karena memang tersedia ruang dan waktu bermain. Maka menjadi sangat berbeda dengan adanya takdir pandemi. Anak tak seleluasa menikmaati ruang dan waktu bermain. Sehingga inilah sebuah paradoks dari fungsi bermain, di mana salah satunya adalah untuk membantu aktualisasi otak anak karena menyimpan variabilitas yang secara potensial ada dalam otak manusia (Utama: 2020).
Analisis
Mengapa bisa terjadi, di mana anak kehilangan hak eksplorasi bermainnya di saat pandemi. Pertama, karena pembelajaran di masa pandemi mengakibatkan sebagian banyak guru merasa bingung dalam mendesain program, sehingga bukan tidak mungkin terjadi stuck atau kemandegan gagasan, di mana hal ini bermuara pada hilangnya kesempatan anak untuk bergerak dan bermain. Kedua, pembelajaran di masa pandemi, disadari atau tidak telah menggiring para guru untuk menjadikan pembelajaran jaringan sebagai sebuah pilihan yang sebetulnya tak luput dari resiko atau dampak negatif. Ketiga, keberadaan orang tua di rumah tidak bisa sama persis pola terstrukturnya dengan apa yang biasa disampaikan oleh guru di sekolah, di mana rencana kegiatan, urutan belajar dan media yang diperlukan dikemas sedemikian rupa.
Terkait fenomena tersebut, Baumer (2013) secara tegas mengutarakan bahwa anak-anak membutuhkan dan mencari berbagai bentuk keterlibatan bersama dengan orang dewasa, yang kemudian bisa kita tangkap sebagai pentingnya sebuah ikatan (engagement). Sebagaimana Ginsburgh (2021) dan Megawanti (2012) menegaskan pula bahwa bermain merupakan bagian masa kecil yang sangat sayang terlewatkan yang menawarkan manfaat pada masa penting perkembangan anak-anak, di mana mereka berkesempatan terlibat dengan orang tuanya. Â
Selanjutnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa anak butuh menikmati dan merasakan kemanfaatan dari setiap fase tumbuh dan berkembangnya. Sebagiamana ditegaskan oleh Oberlander (2000) bahwa para orang tua dan pengasuh anak harus sadar apa yang dapat dan harus mereka lakukan untuk membuat si kecil menikmati dan banyak mendapat manfaat dalam setiap tahap perkembangannya. Jadi, sesederhana anak bermain petak umpet, sesederhana anak berlomba memasukkan air ke dalam botol, semuanya itu adalah pemuas bagi mereka menemukan dunianya.
Persoalannya, ketika cara yang dilakukan orang tua tak seterstruktur guru di sekolah, ketika aktivitas yang guru hadirkan lebih sedikit dari biasanya, ketika bermain gadget tetap menjadi pilihan, inilah yang kemudian menjadi keresahan bersama yang sebetulnya butuh solusi yang berarti. Sementara pandangan Frued sebagaimana diutip oleh Mutiah dalam Pratiwi, dkk (2018: 335) bahwa bermain sama dengan fantasi atau lamunan, di mana melalui bermain ataupun fantasi, seseorang dapat memproyeksi harapan-harapan maupun konflik pribadi. Namun lagi-lagi, konteks bermain seperti yang ditegaskan oleh Freud, butuh dikawal dan diarahkan bahkan dipantik oleh orang dewasa.