Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pendidikan Keluarga

Menjalani Peran Pengasuhan Berkesadaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sabyan dan Kuasa Netizen

5 Maret 2021   18:22 Diperbarui: 5 Maret 2021   18:32 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.tribunnews.com/

Sebagai orang Sunda, saya masih terngiang dengan istilah yang biasa diucapkan para orang tua zaman dulu. "Dasar biwir teu bisa diwengku."

Apa itu artinya? Artinya kurang lebih menggambarkan mulut manusia yang sulit dikendalikan (berucap sekehendak atau berkata-kata tanpa takaran dan pertimbangan). 

Jika spontanitas ungkapan tersebut biasa didapat secara langsung melalui  dialog lisan, di zaman  digital pun tak ketinggalan konteks yang sama. Artinya, para netizen betul-betul punya kuasa untuk berkomentar dan beropini  apa saja. Termasuk mengomentari berita keretakan keyboardist sebuah grup musik gambus yang "konon" ada hubungan khusus dengan vokalisnya.

Terlepas benar dan tidaknya berita "perselingkuhan" tersebut, saya sebagai penikmat berita merasa tak harus terpancing dan terjebak dengan hiperbolanya tanggapan para netizen di kolom komentar media sosial.

Mengapa? Inilah beberapa alasannya.

Pertama, tentang reputasi penyaji berita.

Dalam hal ini, penyaji berita yang ada  (bahkan  secara mayoritas) tak memiliki kekuatan reputasi yang baik. Kita bisa perhatikan akun-akun (tepatnya pada platform Instagram) yang namanya saja meragukan alias abal-abal dan cenderung hanya bermodal sensasi. 

Sebut saja, Lamb* Ny*ny*r, Lamb* Tur**, dan akun-akun sejenisnya. Secara kasat mata, kita yang masih mengaku "waras", apa perlu terbius dengan akun yang belum jelas juntrungan official-nya? 

Dan inilah muhasabah bersama bagi bangsa kita tentang reputable-nya sebuah sumber, di mana masih banyak di antara kita yang terlalu gampang percaya tanpa menakar, mengingat dam menimbang.

Selain keraguan reputasi sumber berita, juga keberulangan berita dengan bahan yang sangat minimal. Artinya, dengan modal mengulang bahan berita secara picisan, dengan hanya bermodalkan screenshoot sebuah dialog pada fasilitas whatsapp, dengan minimnya analisis, netizen telah berhasil dipersilakan menjadi raja dan ratu untuk berkomentar dengan sesuka rasa. Dan netizen pun tampil sebagai subjek dengan sangat gagahnya. Lagi-lagi, ini inilah sebuah anomali.

Kedua, bab korelasi dengan genre religi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun