Seorang antropolog dari Prancis yang karya dan kritiknya mendunia, Pierre Bourdieu. Bahkan teorinya tentang reproduksi sosial, secara terang-terangan dijadikan koreksi terhadap paham Karl Marx.
Bourdieu lahir di sebuah kampung dari keluarga terbatas ekonomi. Namun begitu istimewa. Beliau berhasil masuk ke sebuah Universitas ternama dan prestisius, dan di sanalah puncak rasa mindernya tumbuh.Â
Latar belakang keluarga para mahasiswa di perguruan tinggi tersebut pada umumnya adalah kaum terpelajar dan berkecukupan, di mana hal tersebut sangat berpengaruh terhadap gaya bicara, kelancaran berargumen, kualitas analisis saat berdiskusi, dan lain-lain. Sehingga wajar adanya, ketika Bourdieu yang "orang kampung" itu merasa rendah diri.
Ayah Bunda yang dirahmati Allah. Saya tidak sedang menguraikan kisah hidup seorang pemikir bernama Bourdieu. Saya hanya tengah berusaha mengambil hikmah dari keunikan kisahnya. Bahwa gagasan-gagasannya sekaligus perjalanan karirnya yang melesat, itu dipantik dari rasa minder, bahkan konon dari sebuah "trauma".
Artinya apa, ini tentang sebuah makna motivasi. Bahwa hidup kita tak bisa "mendewakan" masa lalu sebagai sebuah tabir. Tabir yang menghalangi diri untuk maju.
Demikian pula dengan anak-anak kita. Kita tidak tahu tentang bagaimana masa depan anak-anak kita. Karena tugas kita adalah merencanakan dan mempersiapkan. Sehingga anak kita yang hari ini secara kasat mata lebih prestatif, lalu anak kita satu lagi prestasinya biasa-biasa saja, belum tentu keberhasilan masa depannya linear dengan apa yang kita saksikan secara kasat mata pada hari ini.
Bahkan jika kita gali lagi konsep "kun fayakun", ada seorang anak dengan kondisi ekonomi keluarga sangat terbatas, dengan pasokan gizi yang sangat terbatas bahkan darurat, namun Allah takdirkan anak tersebut cemerlang dan pada akhirnya memiliki kelas sosial yang baik. Artinya, tak semua konteks sebab akibat itu "mutlak" berlaku pada kehidupan kita sebagai makhluk.
Bismillah. Kita semua tak luput dari kesalahan dan permasalahan. Namun kita tak disarankan untuk diam berpangku tangan. Kita tak dibenarkan untuk hanya mempermasalahkan. Kita juga tak dilahirkan untuk hanya berbangga pada dengan setiap permasalahan yang ada.
Setiap kita tentu pernah didera oleh ujian atau cobaan atau tempaan. Semua telah Allah sesuaikan dengan kapasitas diri kita masing-masing. Lalu haruskah kita hari ini menyalahkan orang tua kita yang telah dianggap "salah" memperlakukan kita. Haruskah pula kita menjadikan permasalahan yang ada sebagai pijakan untuk kita memandang dunia ini dengan sempit dan serba salah? Sedangkan kita terlahir untuk bergerak dan menghadirkan solusi.
Dan salah satu tugas kita adalah yakin terhadap kebesaran Allah Swt. Permasalahan itu tak berarti kekal. Kekurangan diri atau kelemahan pada anak kita pun tak berarti langgeng. Optimistis dengan waktu yang masih disediakan Allah untuk berbenah adalah sebuah kemuliaan.
Walloohua'alam. Semoga bermanfaat.