Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kita dan Kebelumtuntasan Mendidik Anak

24 Agustus 2020   11:22 Diperbarui: 24 Agustus 2020   11:10 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sering kita dipertemukan pada konteks "seolah-olah". Seolah-olah sudah aman, seolah-olah tanpa masalah, seolah-olah telah cukup, seolah-olah sudah berakhir.

Kita hari ini, saat di antara anak kita tuntas menguasai hafalan sekian juz Al Qur'an, dianggap sudah "jongjon" alias sudah tenang. Lalu, kita berpikir merasa "cukup" dan merasa "sudah". Padahal, sekian lakon masih panjang fragmen tempuhnya.

Kita hari ini, saat anak-anak sudah refleks beribadah, saat mereka refleks bangun sebelum subuh, seolah-olah menjadi takaran kesalehan atasnya. Seolah cukup dengan bekal tersebut. Padahal, jenjang yang baru mereka lewati baru saja sampai pada jenjang sekolah menengah, alias masih jauh jarak tempuh perjuangan.

Kita hari ini, saat anak kita telah lebar hati untuk menunaikan tugas-tugas kerumahtanggaan seperti menyapu dan mencuci piring, dianggap seolah-olah menjadi bekal permanen alias menjadi jaminan bahwa hal demikian terbawa utuh hingga dewasa kelak. Padahal, anak kita baru saja memasuki babak akhir pendidikan dasar.

Bangga dengan kemampuan dan kemauan anak. Memang sangat wajar adanya. Orang tua mana yang tak bangga dengan kelebihan sekecil apa pun yang anak miliki. Ini fitrah. Siapa pun orang tua, rata-rata demikian.

Namun cukup terhenyak saat sekadar mengingati perjalanan waktu yang masih harus mereka tempuh. Bukan tak mungkin, mereka menurun antusias ibadahnya di tengah fase perkembangan. Atau mereka menurun stabilitas emosinya di saat masa transisi sebuah masa. Atau bisa jadi mereka berubah mind set sesaat setelah menemukan kehidupan sosial yang baru.

Terjadi hal yang tak diinginkan, tentu saja na'uudzubillahi minzhalik alias sangat tak diharapkan. Namun kemungkinan berubah dalam konteks negatif, itu bukan mustahil.

Maka kenapa para orang tua kita begitu kencang melangitkan doa khusus untuk kita putra putrinya, salah satunya adalah supaya kita tetap berada dalam track yang benar, dalam core value yang tepat.

Dan bagian dari hakikat menjadi orang tua adalah bagaimana kita memohon yang terbaik untuk anak-anak kita, menitipkan secara ekspresif kepada Allah Mahamenjaga.

Karena ketergelinciran akhlak di zaman ini memang sangat terbuka. Belum lagi dengan adanya gadget yang -diakui atau tidak- telah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.

Robbi habli minashshoolihiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun