Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Biarkan Anak Kita Terhanyut Pemakluman

26 Mei 2020   20:38 Diperbarui: 26 Mei 2020   20:48 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

oleh: Miarti Yoga 

(Penulis dan Konsultan Pengasuhan)

Banyak pemakluman dari orang tua terhadap anak, yang dianggap biasa alias dianggap benar. Contohnya banyak kita temukan pada konteks sehari-hari.

  • "Gak usah dibangunin, kasian. Masih ngantuk." (Padahal, sudah seharusnya anak bangun untuk sholat subuh)
  • "Udah ah biarin gak ngerjain PR juga. Gak bakal ditindak juga kok sama Bapak Ibu guru." (Padahal kondisi anak sangat memungkinkan)
  • "Adik mah anak bungsu. Udah ah. Jangan disuruh ini disuruh itu." (Padahal si adik bungsu antusias mendapat tugas seperti kakak-kakaknya)
  • "Gak papa lah. Gak sholat cuma satu waktu aja kok. Tanggung. Lagi di kendaraan." (Padahal sang anak sangat tak masalah bila harus berhenti barang sejenak untuk tunaikan sholat)
  • "Ya udah, kalau gak kuat mah, buka aja puasanya. Biarin cuma setengah hari juga." (Padahal anak semata-mata hanya "tergoda". Bukan karena lemas atau sakit)

Tanpa sadar, dengan seringnya anak diberi pemakluman, perlahan dirinya merasa "tak harus" melakukan ini dan itu. Persis ketika mereka sedang proses belajar, lalu kita dengan sengaja mengambil jalan pintas seperti;

  • Menanggulangi tugas sekolah anak dari awal hingga tuntas
  • Anak dibuat "tahu beres" tanpa ikut dalam proses
  • Anak benar-benar ready to use saat hendak menggunakan perlengkapan (perlengkapan mengaji, perlengkapan sekolah, perlengkapan bekal makanan, dll)

Di satu sisi, hal demikian memang pertanda kasih sayang orang tua kepada anak. Tetapi, kebiasaan kita memperlakukan hal demikian pada anak -yang seharusnya berlatih mandiri-, akan MELEMAHKAN daya juangnya. Bahkan bukan hanya daya juang, melainkan dapat membiaskan atau mengikis empati.

Empati? Ya, betul. Normalnya seorang anak, punya rasa empati kepada kita sebagai orang tuanya. Empati dengan kesibukan yang tengah kita perbuat. Empati dengan kebaikan-kebaikan yang kita berikan. Ini bukan perkara "balas budi", melainkan tentang belajar menumbuhkan rasa.

Paling tidak, mereka tak terlena atau terhanyut dengan;

  • Pembelaan kita atas kekurangan dirinya
  • Pembenaran yang kita berikan
  • Pemakluman-pemakluman kita yang membolehkannya bebas berkehendak

Bahkan dengan terbiasanya memperoleh pemakluman, tanpa sadar mereka menjadi minim dalam hal mengakui kekurangan diri. Bahkan saat diingatkan pun, akan kesulitan untuk "merasa" bahwa dirinya salah.

Dan sebetulnya tak jauh beda dengan keseharian kita sebagai orang dewasa. Semakin kita banyak berharap dimaklumi oleh orang-orang sekitar, semakin kita menjadi lemah atau terbatas, juga semakin membuat kita merasa tak perlu berusaha.

Semoga bermanfaat, dan semoga Allah SWT menaungkan kita ke dalam golongan mukmin yang kuat. Kuat keyakinannya, kuat istiqomahnya, kuat ikhtiarnya, dan kuat dalam setiap ujian. Allohu'alam bish showaab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun