Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Kue Ulang Tahun

23 September 2024   02:56 Diperbarui: 23 September 2024   03:07 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration by Taizo || @taizo_03

Detak jam terdengar menggema nyaring di luar sana. Ada satu gereja tua yang jamnya masih berdentang tiap pukul 12 malam. Saat itu aku hanya bisa melihat satu lilin kecil di atas kue ulang tahunku. Sepotong kue apel yang dikirim tanpa catatan pengirim itu mengingatkanku pada buah buahan yang dikirim surga padaku pada malam-malam sebelum Dia menghempaskanku dari alam roh yang suci itu.

Aku membiarkan lilin itu terus menyala, menyaksikan tubuhnya meleleh sedikit demi sedikit, berharap Ia juga merasakan sakit yang sama. Meskipun berharap begitu, entah mengapa aku tidak bisa sedikitpun merasa lega.

Orang-orang bilang, aku terlahir sebagai sebuah pisau dengan pantulan yang menyilaukan. Karena itu, terkadang matahari terlihat enggan menyinariku. Bintang bintang dan bulan pun terlihat lebih suka menyinari malam yang terlihat sedikit banyak mulai membosankan.

Aku ingin tahu, bagaimana agar diriku bisa menangani pisau dalam diriku ini dengan benar? Sering kali aku terjebak; mengarahkan pisau itu membabi buta dan melukai orang-orang yang coba mendekatiku. Haruskah aku mengubah arah pisau itu ke jantungku sendiri, atau haruskah aku membuangnya, meskipun tahu itu berarti aku akan kehilangan separuh dari ruh yang ditiupkan pada sukmaku?

Mataku masih tertuju pada lilin yang mulai kehilangan bentuknya. Melihatnya yang mulai memenuhi permukaan sepotong kue itu, membuatku spontan merapatkan tanganku. Jari jemariku menyatu dalam doa yang tak pernah bisa kusebutkan pada siapa pun, bahkan pada bayangku sendiri.

Di luar, jam tua itu masih berdentang memenuhi langit malam yang juga terlihat enggan untuk terlelap. Saat itu, saat aku membuka mata di ujung doa-doa tergelapku, aku melihat sebuah bintang jatuh. Bintang dengan ekor mata yang membuatku berharap segala kebahagiaan akan selalu berdiri di sampingnya. Kataku berujung semoga, tumpah begitu saja.

Malam itu, bersamaan berhentinya detak jam, kehidupanku pun perlahan ikut terhenti. Tepat di perbatasan antara ratap dan juga harap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun