Hai, Luka. Apa kabar?Â
Apakah sayapmu benar-benar tumbuh di sana? Apakah senyummu masih mekar seperti terakhir kali aku melihatnya? Apakah senyummu kali ini bukan lagi sebatas dusta dalam menahan luka nestapa?
Hai, Luka. Berkatmu, aku kini mulai belajar tersenyum. Tiap kali tersenyum di depan cermin, aku bisa melihat sosokmu di dalamnya. Senyum yang entah bagaimana membuat pipiku menghangat dan membawaku melambung tinggi.
Aku teringat pada hari-hari menatapmu dari sudut terabaikan di kedai kopi itu. Aku bahkan mendambakan secangkir cappucino manis yang kau siapkan dengan tangan lihaimu. Dirimu yang menari-nari ringan balik konter kopi itu, kuharap aku sempat menangkapnya dengan goresan-goresan emas dalam puisiku.
Hai, Luka. Kamu ingat kucing yang datang menangis padaku di hari kematianmu? Saat ini dia sedang duduk di pangkuanku. Kian hari tubuhnya makin mengering. Tiap kali mengangkatnya, aku teringat pada sekeranjang tomat yang kubawa saat menemani ibu ke pasar.Â
Dia tidak pernah mengerang sedikitpun. Yang kutahu, tubuhnya yang gembul dengan bulu putih lebat itu menjelma menjadi sesuatu yang menyedihkan. Meskipun begitu, di mataku dia tetap terlihat menawan. Mata berwarna zamrudnya yang mengingatkanku padamu itu tetap berbinar penuh arti.
Hai, Luka. Kuharap kau tidak pernah melihatku menangis seperti ini. Kucing di pangkuanku ini akhirnya tertidur begitu lelap hingga aku tak bisa lagi menatap matanya. Saat  memeluknya, aku bisa merasakan tubuh hangatnya yang perlahan-lahan mendingin. Satu-satunya kehangatan yang tersisa hanyalah air mata yang tak mungkin bisa kubendung lagi
Hai, Luka. Kuharap kau tidak kesepian lagi di sana. Dan jika waktunya tiba, bisakah kalian berdua menjemputku di tangga pertama menuju kehadiratnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H