Ayahku bilang, jadi laki-laki itu harus kuat: tidak sepantasnya mengemis, mengeluh, apalagi menangis di depan wanita. Karena itulah, saat aku melihatmu menangis di kaki bulan yang jenjang melengkung di pemukiman kesepian itu, aku tidak bisa memahaminya. Kau meringkuk di peluk airmata yang terpantul cahaya-cahaya lembut berwarna kekuningan.
Kupikir semua laki-laki sama kuat dan tulusnya seperti ayahku. Seseorang yang akan tetap menerjang hujan badai atau banjir bandang, demi bisa melihat putri kesayangannya bermain ayunan di antara awan dengan bintang yang gemerlapan. Seseorang yang akan selalu berlari ke arahku, mengankat tubuhku dan berputar-putar kegirangan saat kukatakan "aku ingin menikahimu saat sudah besar nanti."
Tapi melihatnya terbang meninggalkan balkon lantai teratas membuatku bertanya-tanya, seperti apa rasanya terbang seperti itu?Â
Aku menangis. Aku menangis dan menangis. Aku menangis bukan karena ayah berbaik hati mengecat jalanan sekitar, tempat ia tertidur begitu pulas. Aku menangis bukan karena aku tahu ayahku tidak akan mengikat rambutku dengan sangat lembut menggunakan tangan-tangan kasarnya.Â
Aku menangis dan menangis. Lagi-lagi menangis. Aku menangis karena melihat balon-balon ditanganku terlepas, meninggalkanku begitu saja. Mereka menuju ke langit. Terbang begitu jauh. Padahal ini pertama kalinya aku bisa membeli balon-balon itu setelah menjual segenggam rambutku hitamku.
Sejak saat itu, aku tidak bisa memungkirinya, bahwa aku begitu membencinya. Tapi seorang anak tidak boleh membenci ayahnya, apalagi untuk seorang anak perempuan sepertiku. Bagaimanapun juga, kata orang-orang di sekitarku, seorang ayah akan selalu jadi cinta pertama bagi anak-anak perempuannya. Bagi semua orang, sudah sewajarnya begitu.
Aku tidak punya pilihan lain.
Saat hari pemakaman ayahku tiba, aku berdiri di sana menggunakan gaun pengantinku. Warnanya begitu putih dan berkilauan diterpa cahaya matahari yang begitu beringas dan berbau menyengat. Aku bisa melihat semua orang tersenyum kepadaku. Menungguku untuk masuk dalam peti mati ayahku dan membakarku dengan kayu cendana paling wangi. Kayu cendana yang kutanam dengan bersungguh-sungguh di tengah ladang gersang berwarna merah kehitaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H