Islam dan modernitas sering dianggap berada dalam ketegangan. Sebagai agama yang berakar pada tradisi, Islam menghadapi tantangan untuk tetap relevan di tengah perkembangan zaman yang diwarnai oleh ilmu pengetahuan, teknologi, dan globalisasi. Di sinilah peran intelektual Muslim menjadi signifikan. Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Ismail Raji al-Faruqi, dan Hassan Hanafi adalah empat pemikir kontemporer yang mencoba menjembatani Islam dan modernitas, masing-masing dengan pendekatan unik.
Fazlur Rahman: Memahami Al-Qur'an untuk Zaman Modern
Fazlur Rahman dikenal melalui pendekatan Neo-Modernisme, sebuah metodologi yang mengedepankan harmoni antara ajaran Islam dan realitas modern. Ia mengembangkan metode double movement sebagai cara untuk membaca dan memahami Al-Qur'an. Metode ini melibatkan dua tahap:
1. Menafsirkan Al-Qur'an dengan memahami konteks historis saat wahyu diturunkan.
2. Mengaplikasikan pesan-pesan moral dan universal Al-Qur'an ke dalam kehidupan kontemporer.
Rahman berargumen bahwa umat Islam sering terjebak dalam literalitas teks yang mengabaikan nilai-nilai etis yang lebih besar. Sebagai contoh, hukum-hukum dalam Al-Qur'an sering diterapkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan moral yang melatarbelakanginya. Baginya, Al-Qur'an harus dilihat sebagai panduan hidup dinamis yang relevan dengan perubahan zaman.
Gagasannya bertujuan menciptakan masyarakat Islam yang tidak hanya memahami tradisi, tetapi juga mampu merespons tantangan modern seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan tanpa kehilangan prinsip keislaman.
Mohammed Arkoun: Melampaui Ortodoksi
Mohammed Arkoun menawarkan kritik tajam terhadap cara tradisional memahami Islam. Baginya, pendekatan ortodoks yang menekankan keseragaman tafsir agama telah membatasi ruang kreativitas intelektual umat Islam. Arkoun memanfaatkan teori dekonstruksi ala Derrida untuk mengkritik teks-teks agama, menekankan bahwa teks-teks tersebut harus dibaca dalam konteks sejarah dan sosial tertentu.
Ia juga memperkenalkan pendekatan hermeneutika kritis yang berfokus pada hubungan antara teks, pembaca, dan konteks. Menurut Arkoun, teks agama tidak memiliki makna tunggal, melainkan membuka peluang bagi interpretasi yang beragam. Dengan cara ini, Islam dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dalam masyarakat modern.
Arkoun tidak hanya berfokus pada intelektualisme, tetapi juga menyoroti perlunya membangun diskursus Islam yang inklusif dan pluralis. Gagasannya membuka ruang dialog antara Islam dan ideologi modern seperti sekularisme, sehingga Islam dapat menjadi lebih relevan di dunia global.
Ismail Raji al-Faruqi: Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan
Ismail Raji al-Faruqi memiliki visi besar dalam upayanya mengintegrasikan Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Ia memperkenalkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu proses mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam ke dalam disiplin ilmu modern. Baginya, salah satu krisis utama umat Islam adalah ketergantungan pada ilmu pengetahuan Barat yang sering kali tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Al-Faruqi menawarkan dua langkah penting untuk Islamisasi ilmu:
1. Memahami ilmu modern secara mendalam, termasuk epistemologi dan metodologinya.
2. Menyesuaikan ilmu tersebut dengan nilai-nilai Islam, sehingga memiliki landasan etis yang kuat.
Melalui pendekatan ini, al-Faruqi berusaha membangun kembali supremasi intelektual Islam yang pernah berjaya pada masa keemasan peradaban Islam. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan yang berlandaskan tauhid dapat menjadi solusi bagi masalah-masalah global, seperti ketimpangan sosial, krisis lingkungan, dan konflik antarbangsa.
Hassan Hanafi: Progresivitas dalam Islam
Hassan Hanafi menekankan pentingnya rekonstruksi tradisi Islam melalui proyek yang ia sebut sebagai Kiri Islam. Pendekatan ini mencoba memadukan ajaran Islam dengan semangat pembebasan, progresivitas, dan keadilan sosial. Hanafi percaya bahwa Islam memiliki potensi revolusioner untuk membela hak-hak kaum tertindas dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih egaliter.
Dalam pendekatannya, Hanafi mengkritik konservatisme yang cenderung mempertahankan tradisi tanpa mempertimbangkan relevansinya di zaman modern. Sebaliknya, ia menganggap bahwa tradisi harus ditafsirkan ulang agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Ia juga menyoroti pentingnya dialog antara Islam dan ideologi modern seperti Marxisme dan humanisme. Baginya, nilai-nilai universal seperti kesetaraan, solidaritas, dan kebebasan dapat ditemukan dalam ajaran Islam jika ditafsirkan secara progresif.
Kesimpulan: Integrasi Islam yang Dinamis
Keempat pemikir ini memiliki visi yang sama, yaitu menjadikan Islam relevan di tengah arus modernitas, tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Fazlur Rahman menekankan pentingnya memahami Al-Qur'an secara kontekstual; Mohammed Arkoun mengedepankan dekonstruksi dan hermeneutika untuk membuka ruang tafsir baru; Ismail Raji al-Faruqi fokus pada integrasi ilmu dan agama; sementara Hassan Hanafi berusaha menghidupkan semangat revolusioner Islam untuk membela kaum marginal.
Gagasan-gagasan mereka menunjukkan bahwa Islam memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensi keagamaannya. Dengan menyeimbangkan tradisi dan inovasi, Islam dapat menjadi kekuatan transformatif yang mampu menjawab tantangan global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H