[caption caption="Pengemis Jalanan | https://m.tempo.co/read/news/2011/08/02/186349598/satpol-pp-tangerang-halau-pengemis-dari-jalanan"][/caption]
Munah terduduk lesu di trotoar halte bis depan Hotel Sultan. Udin yang lebih kecil darinya, mengacung-ngacungkan jari kepada setiap mobil pribadi yang lewat.
“Din! Pan udah gue kate kalo tri-in-wan dihapus? Ngapain kite dimari?”
Udin acuh dan masih saja mengacungkan jempol kirinya.
Dasar bocah. Ngerti apa, sih? Kesal hati Munah. Diputarnya topi bertuliskan nama salah satu partai politik yang didapatinya tergeletak di tengah jalan dua tahun lalu. Ironis, sebetulnya, karena ia memakai kaos kumal dengan gambar sablon wajah calon anggota dewan dari partai lain, pembagian dari kampanye tujuh tahun lalu. Anggota dewan yang hanya menjabat satu periode, kalah pada pemilihan berikutnya dan kini tersangkut satu perkara.
Munah baru sadar bahwa uang receh takkan didapatnya lagi dari menjadi joki 3-in-1 ketika kemarin tak ada mobil pribadi yang menepi untuk mengangkut dirinya atau teman-temannya sebelum berbelok ke jalan Sudirman.
Seperti nama babe, Sudirman, pikirnya.
Babe yang dikaguminya. Namun sudah seminggu babe tergeletak di tempat tidur dan tidak melaut. Malarianya kumat.
Matahari kian terik menyengat ubun-ubunnya yang tertutup topi, membuat kulit kepalanya gatal, basah dan lengket oleh keringat. Tenggorokannya kering. Tapi ia tak punya uang.
Seorang pria membuang botol plastik teh kemasan yang masih berisi setengahnya ke dalam tempat sampah halte dan buru-buru melompat ke dalam bis kota yang menuju Blok M. Munah bergegas mengambil botol tersebut. Ada kuah siomay basi menempel di tutupnya.
“Minta,” kata Udin, melonjak-lonjak tak sabar.