Munah membuka botol tersebut, yang langsung direbut Udin.
“Jangan diabisin!” bentaknya ketika menyadari bahwa Udin menunggingkan botol plastik itu tegak lurus, namun terlambat.
“Lu tega sama empok, ye?” ujarnya kesal.
Udin hanya memamerkan senyum di wajah mongoloidnya.
“Yuk, pulang!” ia menarik tangan Udin menyeberang jalan. Hampir saja tubuhnya disambar sebuah mobil sujuki. Munah tak menghiraukan kata-kata kotor yang terlontar dari pengemudi wanita yang berhenti dan membuka kaca jendela, khusus hanya untuk mengumbar kalimat-kalimat yang biasa didengar Munah di pasar ikan.
Di seberang jalan, sekelompok anak muda duduk di rerumputan mengelilingi seorang lelaki gondrong yang sedang membaca puisi.
Getir tangis bersahutan memekak telinga
Anak-anak memelas sembunyi di ketiak ibunya yg meringis
Membawa perut yang penuh nyanyian cacing-cacing lapar
Bermandi peluh berbaju tipis dan kumal
Tak peduli terik mengganas dahaga
Debu dan asap knalpot menampar wajah lugu
Memagari tepi jalan tuk mengais receh
Demi keegoisan sang pemilik roda empat tuk sampai ke satu jalan, satu tujuan
Tunas bangsa mencari ilmu tuk bekal hidupnya
Generasi belia belum waktunya menjaja raga
Wajah keberhasilan suatu bangsa nampak pada anak-anak di jalanan
Masih mungkinkah fakir miskin dan anak-anak terlantar di biayai oleh negara....?!
Sungguh kaya negara kita
Kaya dengan hasil alam dan tambang
Kaya dengan para koruptor dan penjilat
Kaya dengan fakir miskin dan anak-anak penjaja raga
Pendidikan dan moralitas masih kacau
Anak-anak terlantar semakin terlantar
Yang kaya semakin kuat dan angkuh
Yang miskin semakin terpuruk kebodohan