"Lima belas ribu rupiah saja, yang bentuk boneka nih mbak, dan ga akan layu..." Gadis cilik itu melanjutkan sambil mengikutiku yang akan menaiki undakan tangga menuju ke puncak kawah gunung Bromo
Sepenggal percakapan di atas mengingatkanku sewaktu aku berlibur ke rumah teman di Madiun, aku di ajak ke Probolinggo ke rumah tantenya, namun sebelum ke rumah tantenya aku di ajak jalan-jalan melihat lautan pasir di kaki gunung Bromo sekalian melihat kawah gunung Bromo dari dekat.
Nun di ujung fajar kala ayam jantan mulai nyaring berkokok, saat insan masih bergumul selimut kau telah siap bergumul dengan maut, malah berpacu dengan gelegak panas belerang di bawah sana, kau lincah turun menapaki terjalnya lereng kawah, tanpa memakai alat bantu tongkat penyangga badan, ataupun sekedar masker pelindung dari debu dan bau sangit belerang, kau tetap garang menerjang.
Sesekali tanganmu menyeka keringat yang mengucur di wajah dan leher dengan ujung baju lusuh yang kau kenakan, dingin hawa pegunungan bercampur panasnya udara kawah tak kau peduli sedang istri dan anakmu menanti di atas tebing dengan sabar, namun yang kau ingat hanya anak dan istri, bagaimana mencari uang untuk memberi nafkah anak dan istri.
Entah sampai kapan kau terus memetik dan terus mengais rupiah di sana, bunga Edelweis seakan mengerti dirimu, mereka tumbuh dan terus tumbuh, takkan pernah habis, mereka berikan tubuhnya untuk kau gantikan dengan lembaran rupiah, demi sesuap nasi untuk menyambung hidup sehari-hari.
Aku tak pantas mendapatkan bunga Edelweis dengan sedikit lembaran rupiah saja, pengorbanan dan kemampuanmu memetik bunga Edelweis di bawah sana sungguh membuatku meringis, hati menangis, bunga-bunga Edelweis pun mampu memberikan sedikit tubuhnya untukmu, aku bisa apa....???
Bima, 19 Februari 2016
Mia Diandry