[caption id="" align="aligncenter" width="549" caption="Pekerjaan Rumah Tangga | Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Saya adalah produk perempuan metropolitan Jakarta yang menginginkan banyak hal dalam hidup. Dengan bekal pendidikan yang cukup, pengaruh sosial ekonomi keluarga besar dan suami, saya dengan sadar memilih menjadi perempuan yang aktif bekerja dan berkarir untuk ikut berkontribusi dalam perekonomian keluarga.
Hidup tentu adalah pilihan. Dan pilihan kami (saya dan suami) adalah memiliki standard hidup yang berada pada suatu tingkat yang mengharuskan kami bekerja keras untuk mendapatkan hal tersebut. Memiliki rumah tinggal baik di lingkungan baik, memasukkan ke 3 anak kami di sekolah nasional plus, kendaraan-kendaraan pribadi yang memudahkan aktifitas keluarga, liburan yang diusahakan tiap tahun dalam atau luar negri sampai kepada keinginan berinvestasi untuk jaminan hari tua. Hal-hal tersebut menjadikan kami pasangan yang cukup sibuk bahkan sejak kami belum menikah.
Seperti pasangan kerja lain, sejak anak-anak masih bayi, hari-hari penuh kesibukan bekerja mulai pagi hari hingga malam sudah menjadi rutinitas. Kami harus pandai-pandai mengatur waktu sedemikian rupa agar perhatian terhadap tumbuh kembang anak pun tetap menjadi prioritas. Tentu beberapa kali kami memerlukan bantuan social net dari keluarga. Tetapi atas nama kesibukan masing-masing yang juga hidup di kota besar seperti Jakarta, hal tersebut tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Baik dari keluarga saya maupun suami.
Buat saya sebagai ibu, mau tidak mau, harus memiliki orang yang bisa dipercaya untuk membantu saya mengurus rumah tangga harian selama saya bekerja. Dan sama seperti para ibu bekerja lainnya, saya mempercayakannya pada mba atau ART (Asisten Rumah Tangga) atau seringkali saya sebut sebagai pengasuh saat anak-anak masih berusia balita.
I feel so blessed! saya merasa sangat diberkahi. Sepanjang ingatan, dari mulai menikah hingga memiliki 3 anak remaja seperti sekarang, tidak pernah saya mengalami kepanikan karena mba/ART yang mendadak tidak balik lagi setelah cuti lebaran atau ijin pulang kampung karena suatu alasan. Mereka datang dan pergi dengan baik-baik. Tidak pernah mereka memberi janji palsu atau berbohong akan kembali, karena rata-rata dari mereka kebanyakan mengakhiri hubungan kerja karena alasan menikah, ingin wirausaha di kampung atau ingin bekerja di toko/mall. Semuanya dilakukan dengan jujur dan terbuka. Bahkan sampai sekarang dengan para mba/ART kami masih menjalin hubungan baik. Masih sering berkomunikasi.
Yang mengharukan, tidak jarang sebelum mengangkhiri hubungan kerja, mereka dengan sukarela mencarikan pengganti. Artinya mereka memberi rekomendasi yang cukup baik kepada saudara, kerabat atau teman mereka. Rata-rata dari mereka bekerja di tempat saya minimal 2-9 tahun. Itu pun dengan catatan, beberapa dari mereka masih ada yang meminta saya menerima mereka kembali karena berbagai macam alasan.
Semua patut saya sukuri. Tak jarang kakak-kakak, adik-adik, saudara saudara ipar, kerabat maupun teman meminta nasehat/tips dari saya bagaimana cara menjaga mereka. Seringkali faktor uang yang berlebih dari kami menjadi tuduhan. Atau terkadang perilaku ART jaman sekarang yang jadi sasaran. Dibilang sekarang mereka lebih berulah, banyak maunya, tidak bisa kerja, pilih-pilih dan lain-lain. Padahal faktanya memang sekarang mereka memiliki lebih banyak pilihan. Dengan makin bertumbuhnya kawasan industri, banyak dari mereka memilih jadi buruh pabrik/konveksi. (berita selengkapnya)
Di setiap kesempatan, jawaban dari saya selalu sama bahwa memperlakukan mereka sebagai 'manusia' selalu menjadi kuncinya. Karena saya percaya, pemberian uang berlebih di atas 'harga pasar' sekalipun, tidak akan menjamin mereka akan bahagia dan setia.
Beberapa hal yang sering kali saya ulang-ulang saat saya memberikan tips kepada mereka adalah :
1. Mereka bekerja. Hal yang sama seperti tuannya. Maka artinya mereka perlu juga waktu istirahat, waktu berlibur. Seringkali saya gemas melihat pasangan yang dengan asiknya tiap weekend membawa pengasuh kemana pun mereka pergi. Seolah sudah menjadi budaya metropolitan, bapak ibu boleh nge-mall dan makan di resto dengan nyaman, sementara si pengasuh kerepotan membawa barang-barang sambil tetap mengasuh si bayi/anak. Bahkan tak jarang pasangan bekerja tersebut menyerahkan anak seenaknya seharian padahal mereka ada di rumah. Haalloow...??! tidak cukupkah senin-jumat, mereka menjaga dengan baik anak-anak kita? menjadi orang tua adalah konsekuensi seumur hidup. Tidak mau cape? yaa.. lebih baik pikir dulu baik-baik! Sejak anak pertama saya masih bayi, saya dan suami berkomitmen, weekend adalah waktu kami dengan anak dan mengurus urusan rumah/domestik. Seharian penuh, semalaman suntuk. Para ART/pengasuh wajib libur atau cuti. Mereka boleh pergi ke tempat-tempat yang mereka sukai, mengunjungi kerabat atau bahkan boleh hanya leyeh-leyeh di kamar mereka tanpa beban pekerjaan apapun. Kalaupun kebetulan saat weekend kami ada urusan mendesak, atau tiba-tiba ada acara di rumah kami, mereka dengan kesadaran penuh dan keihklasan tetap membantu. Bahkan tidak jarang, mereka sendiri yang memutuskan weekend ini mereka mau di rumah membantu kami saja. Nah, untuk bapak ibu yang bekerja silahkan pertanyaan dikembalikan ke diri sendiri. Relakah jika kantor senin-jumat anda tetap rutin memberikan tugas menumpuk saat weekend?