Minggu lalu saya menjamu salah satu sahabat berwarga negara Malaysia yang sudah hampir 7 tahun bekerja di Indonesia. Seperti biasa, selain membicarakan masalah pekerjaan kami pun terlibat percakapan panjang campur sari. Mulai dari ekonomi, sosial, budaya dan tentu saja politik. Bahkan membicarakan ranah politik hampir mendominasi topik percakapan di siang menjelang sore saat itu.
Sahabat saya ini dapat dikategorikan sebagai sosok mapan Malaysia. Seorang melayu murni yang menjadi pekerja lintas negara dengan latar belakang pendidikan tinggi dan juga menduduki posisi yang sangat strategis di perusahaan. Bicaranya sangat runut, strategis, dengan campuran bahasa melayu dan inggris. Sangat menyenangkan berdiskusi dengannya. Bisa lupa waktu. Tetapi bagi saya, yang terpenting dari percakapan panjang minggu lalu itu adalah terselipnya rasa bangga di dada sebagai bangsa Indonesia.
Bagaimana tidak, sahabat saya itu mengawali diskusi politik kami dengan kata "We should jealous with your country, Mia". Menurutnya kemajuan demokrasi di Indonesia begitu luar biasa dibandingkan negaranya. Bahkan percakapan kami membandingkan semua negara di kawasan ASEAN sekalipun, tidak ada menurutnya yang memiliki prestasi demokrasi yang begitu hebat seperti Indonesia.
Malaysia, negri asal sahabat saya, menurutnya adalah negri dengan 'kekonyolan' luar biasa jika menyangkut politik. Bagaimana skenario yang tidak masuk akal mulai dari alasan makar pada negara sampai pembuktian kasus sodomi digunakan untuk menjegal lawan. Menurutnya lagi, perlawanan bukan tidak ada. Tetapi tidak cukup besar untuk menggoyahkan penguasa.
Singapura, negri yang terkenal dengan kedisiplinan dan ketertibannya. Meskipun memiliki banyak partai politik dan telah sukses berulang kali melaksanakan pemilu, tetapi pemenangnya selalu mutlak dan selalu partai yang sama. Tak heran jika Economist Intelligence Unit mengklasifikasikan Singapura sebagai negara dengan elemen otoriter dan Freedom house menyebut sebagai negara yang tidak sepenuhnya bebas. Reporters Without Borders juga menempatkan Singapura di peringkat 149 dari 179 negara dalam Indeks Kebebasan Pers 2013. Lagi-lagi, kembali pada rakyatnya, mereka seolah tidak tertarik untuk bereaksi. Pengalaman demokrasi politik bisa jadi tidak menjadi agenda masa lalu, masa kini bahkan masa depan untuk mereka.
We both were agreed no comment on Brunei dan negara-negara ASEAN baru yang lain seperti Laos dengan kebijakan 1 partai politiknya, dan juga Vietnam-Myanmar-Cambodia negara yang masih kental unsur kontrol militer. Kami sepakat berpendapat sama bahwa kemungkinan besar politik dan demokrasi masih sebatas wacana harapan saja.
Demikian juga dengan Thailand. Raja masih menjadi simbol terpenting dan juga penentu bagi pemerintahan dan rakyat. Perseteruan politik apapun antara partai berkuasa dan oposisi, berdasarkan sejarah bangsa tersebut selalu diselesaikan oleh militer yang sepenuhnya didukung oleh kerajaan.
Bagaimana dengan Phillipina? negara yang mengadopsi sistem politik dan pemerintahan seperti US ini sebenarnya merupakan negara yang juga demokratis di kawasan ASEAN jika dilihat dari proses pemilu yang telah berlansung beberapa kali. Tetapi jika dilihat dari 'kisah drama' politik yang terjadi, lagi-lagi Indonesia adalah juaranya. Mulai dari pengalaman people power to force Soeharto's step down, euphoria kebebasan berpolitik multi partai, gonta ganti presiden sampai yang terkini adalah perseteruan hasil pemilu 2014 di MK. Semua merupakan pembelajaran politik dan demokrasi yang luar biasa.
Luar biasa bagi orang-orang yang melihatnya dari luar Indonesia. Luar biasa bagi mereka yang belum pernah merasakannya. Luar biasa bagi rakyat negara tetangga kita.
Bagaimana dengan kita sendiri? kita menyaksikan bahkan mungkin ikut menjadi pelaku pada drama-drama politik negeri ini, babak demi babak. Kita mengikuti pemilu dengan harapan masing-masing. Kita mengikuti semua perkembangan dengan opini masing-masing. Kita semua menjadi bangsa yang punya pengalaman berdemokrasi.
Terlepas dari konteks bahwa masih banyak sekali permasalahan pada bangsa ini baik di sektor ekonomi, keamanan dan kestabilan, toleransi umat beragama, pendidikan dan setumpuk permasalahan lain, tetapi paling tidak pada urusan demokrasi dan pembelajaran politik, kuat prasangka saya kita adalah 'Gajah' di mata para tetangga kita. Mereka melihat kita 'tahan banting' melalui berbagai badai.