Mohon tunggu...
mia afisa
mia afisa Mohon Tunggu... -

putus cinta bukan berarti harus putus asa dan harapan , tapi putus cinta itu akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih dewasa dan kuat..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Nyadran Laut Tawang

17 Januari 2015   16:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:57 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tradisi nyadran laut tawang adalah pesta laut atau sedekah laut yang melarung kepala, kaki, dan ekor sapi, jajan pasar, serta kemenyan ke tengah laut. Pesta laut Tawang yang berada di desa Gempolsewu, kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal ini bertujuan untuk mengharap berkah dan meminta doa pada yang Maha Kuasa agar para nelayan diberi keselamatan saat melaut.Selain itu juga bertujuan agar masyarakat diberi rezeki yang melimpah. Dulunya tradisi ini bersifat syirik karena kepercayaan masyarakat pada waktu itu adalah kepala, kaki, dan ekor dilarung ketengah laut sebagai tumbal laut. Namun, dengan berjalannya waktu masyarakat telah sadar dan tradisi nyadran pun bergeser menjadi bentuk ucapan syukur pada Allah SWT dan untuk menghormati laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Sedekah laut ini dilakukan satu tahun sekali pada bulan suro, dan merupakan kalender tahunan masyarakat desa Gempolsewu. Tradisi laut tawang biasa digelar pada hari jum’at kliwon di bulan suro. Keramain pesta laut sudah terlihat sejak H-7 atau seminggu sebelum pelarungan, karena disana diadakan lomba-lomba, seperti lomba balapan perahu, lomba menghias perahu, lomba sepak bola, voli, dll. H-3 diselenggarakan istighosah di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tawang untuk memohon doa pada Allah SWT agar tradisi nyadran berjalan dengan lancar. H-1 diadakan karnaval, arak-arakan sapi yang akan dilarung esok harinya. Jadi, sebelum sapi tersebut disembelih, warga mengaraknya keliling kampung, dari lapangan desa Gembolsewu sampai di muara Sigentong. Malamnya, sekitar jam 01.00 dini hari, sapi disembelih kemudian dimasak, kecuali kepala, kaki, dan ekor. Pada hari H prosesi ritual mulai tampak saat puluhan perahu dimuara pantai Sigentong. Di tempat itu, sesaji dan puluhan ambengan atau nasi tumpeng lengkap dengan lalapan, serta lauk pauk yang dibawa warga maupun pemilik perahu diturunkan dari perahu. Dengan dipimpin seorang pemuka agama, warga melakukan doa bersama.

Kemudian makanan tersebut dimakan bersama-sama. Setelah prosesi doa bersama berakhir, panitia pesta laut tawang membagikan daging sapi ke seluruh perahu, per perahu mendapat satu bungkus. Setelah pembagian daging, dari muara pantai Sigentong sesaji yang berupa kepala, kaki, dan ekor sapi serta aneka jajan pasar diletakkan didalam perahu kertas sebuah perahu cotok berhiaskan bendera warna-warni. Iring-iringan puluhan perahu nelayan yang penuh dengan penumpang, membentuk ular-ularan saat perahu pengangkut sesaji diberangkatkan. Yang terlibat dalam prosesi nyadran laut tawang tersebut adalah bupati/wakil bupati, camat, kepala desa, dan panitia pesta laut. Jumlah perahu nelayan semakin bertambah saat larung sesaji ke laut lepas diberangkatkan dari muara. Perahu-perahu itu seolah berlomba mengitari perahu kertas isi sesaji yang dilarung ke laut lepas. Sejumlah nelayan mengambil air laut, dan diguyurkan ke perahu masing-masing. Prosesi ini bagi nelayan dianggap sebagai ngalap berkah atau menacari berkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun