" Salah paham apanya? Aku tahu perasaan aku, aku mencintai kamu dan berharap aku bisa menjadi perempuan yang kamu cintai juga.Kita berbagi cerita dan rasa, aku tidak salah paham. "
      " Desita, aku membayarmu untuk itu, dan dengan nominal yang tidak murah. Aku membayarmu bukan karena urusan ranjang saja tapi karena kamu bisa diajak bicara banyak hal yang aku tidak bisa lakukan dengan pacarku. "
      Satu kalimat dalam satu tarikan nafas itu berhasil menarik jiwaku keluar. Pedih sekali rasanya, seperti inikah saat nyawa dicabut? Sesakit inikah? Kepalaku kosong, aku tidak bisa bergerak. Ia menaruh beberapa lembar uang di meja dan menuju pintu.
      "Aku tidak akan menemuimu lagi. Ini menjadi berlebihan. Aku tidak ingin apapun darimu kecuali waktumu, tapi sepertinya kau salah menerima. "
      Hanya sepotong-sepotong kalimat yang masuk ke dalam telingaku tapi aku tahu bahwa detik itu juga aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Kudengar bunyi pintu ditutup dan aku menangis sejadi-jadinya di kamar itu sendirian. Oh sesakit inikah? Tidak aneh Nirmala waktu itu sampai menghabisi nyawanya sendiri karena patah hati ini begitu, karena rasanya sakit sekali. Hatiku patah dengan sekali hentakan dan isi perutku keluar tak henti. Kepalaku yang tadinya kosong, menjadi begitu sakit sampai aku tidak bisa membuka mataku. Aku tidak akan jatuh cinta lagi. Cinta itu begitu menyakitkan dan memeranakan. Atau aku memang tidak pantas mencintai dan dicintai seumur hidupku?      Â
      Ponselku berdering keras, aku berlari menghampiri karena aku kira itu adalah dia. Saat kulihat itu adalah pesan dari Ibu, " Jangan kelamaan! Ini Pak Seno sudah mau datang satu jam lagi! "
Jakarta, 17 Oktober 2022
(Cerpen ini pernah dipublikasikan di Blog Jurnal Perempuan pada 2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H