Senopati-senopati berjalan limbung, pada tapak-tapak tanpa tubuh. menemu jalan hilir-mudik tanpa henti. membiarkan langkah kaki berjalan tanpa mata, dan berhenti untuk berganti posisi. tapak itu memenuhi pulaupulau, lantailantai, bukubuku, hati-hati dan sunyisunyi. membuat skenario itu sangat panjang dijelajahi tanpa pasrah. termasuk dengan siapa saja bertegur sapa, berbagi bibir di setiap persinggahan warung-warung kopi. menemu ribuan wajah setiap kali bersitatap dengan orang-orang baru yang menghadirkan masalalu, menjelma menjadi siapa saja.Â
tentang kenangan  yang tersimpan manis di bawah alam sadar sering terbuka perlahan hingga membuatnya seperti nyata. meskipun bayangan yang terlihat hanyalah kosong. namun skemata mengubahnya menjadi manusia baru yang menciptakan dunianya sendiri, seperti file-file penting yang dirangkum dalam folder paling private. jiwa-jiwa mereka berbeda, hati-hati mereka tak serupa. hanya jiwa-jiwa pemberontaklah yang membuat semuanya tampak sama. menghubunghubungkan masa silam dengan keadaan yang tidak realistis. skenario kenangan hanyalah bayang-banyang yang membuat mata-mata kosong, dan hatihati sunyi mencari celah untuk mengamini kenyataan semu, dan segalanya menjadi samar jika harus menjelaskan apasaja yang bukan seharusnya ia terima. gundah gulana, rindu tentang cinta khayalan dan membuatnya tengik sendiri dengan dunia absurd yang mereka ciptakan dalam bayangan-bayangan samar.
wahai senopatisenopati, sang pemberontak, jangan biarkan jiwamu kosong bak kereta barang yang lupa menampung isi. Menjelajah di rel yang sempat kau lupakan, hilir mudik menghantarkanmu pada skenario yang pasti. pemberontakan akan membuatmu asing. matamu sedang lelah, hatimu ingin dicintai dan tubuhmu renta untuk kau cumbui sendiri hingga kau terjebak kekosongan yang sadis. di luar jendela, angin terlalu genit untuk kau sapa, dan malam merayu dengan dingin yang menggelegak untuk kau peluk, sedangkan kereta yang kau bawa kian jauh melangkah di kegelapan. membawa nyalimu hingga pada peristirahatan di gerbong terakhir.
wahai senopatisenopati sang pemberontak, kau mulai lupa. jalanmu mulai berkabut. kau perlu pelita dan mungkin berhenti sejenak. rengkuh rebahkan sandaranmu pada sepertiga malam, berdialoglah dengan detak bumi yang hangat. pulihkan kembali ingatanmu pada jangkrik, pada dinding, pada dipan yang meringkik, dan hanya nafasmu yang menggebu membuat semuanya hingar bingar. ada kepasrahan, ada titik renta yang membuat semuanya membara. kau cukup berterimakasih pada malam-malam buta. ia samarkan rindumu, ia samarkan kegelisahanmu, dan ia juga samarkan semua kejahatan nafasmu, kemudian eranganmu mulai luluh terbawa sayubsayub suara panggilan subuh di surau desa.Â
wahai senopatisenopati sang pemberontak, pada gerbong terakhir, kirimkan salamku pada matahari lugu yang malu-malu beradu embun di bibir daun yang basah. membuat kelopak bunga-bunga segar meronta-ronta ingin disapa. dan kau cukup berpihak pada pandanganmu tentangnya, karena pemberontakan sudah selesai. petiklah bunga segar itu, kucuplah dengan kepastian. kau tidak sedang bermimpi. matahari cukup menerangimu hingga menghantarkan pada senja. malam ini adalah milikmu, bukan sekadar bayangan hitam merayu yang sama-sama legam, mengerikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H