Beberapa hari terakhir saya cukup terganggu dengan teror asap kiriman di kawasan sekitar Kersi Putih. Udara subuh yang selalu mendamaikan berubah menjadi pekat seperti menghirup tabung nikotin, sesak dan membuat kunang-kunang. Saya berusaha mengubah mood hari ini yang terkepung dengan segala olok-olok tentang asap dan debu yang terus membabibuta meracuni dengan manjanya. Ntahlah, perkara kabut asap semacam perkara tahunan yang tak pernah habis diceritakan. Semenjak saya tinggal di Kalimantan kebakaran adalah berita klasik yang tak pernah usai. Kebakaran hutan, kebakaran rumah, kebakaran sekolah, kebakaran lahan, kebakaran pasar, bahkan kebakaran jenggot soal penambangan juga sudah bukan perkara yang baru.
Sudahlah, abaikan perkara yang membuat lambung mual karena terlalu nyeri untuk sekadar dibicarakan. Hari ini, yang jelas aku harus bisa menentukan skala prioritas antara pekerjaan, hoby, tugas dan ngojek. Ya, namanya hidup kadang kita harus menentukan pilihan meskipun sesulit apapun. Pukul 07.15 WITA aku bertolak dari rumah menuju sekolah tercinta. Ada puluhan anak-anak manis yang menanti sejak tadi malam, mulai mempersiapkan ulangan Bahasa Indonesia yang telah saya janjikan pada pertemuan sebelumnya. Tentu saya tak ingin membuat anak-anak itu kecewa dan akhirnya menyumpahi gurunya karena merasa dirugikan "Belajar capek-capek tidak jadi ulangan", maklumlah saya dulu juga sering uring-uringan jika guru mapel membatalkan agenda ulangannya mendadak.
Pukul 08.47 WITA saya berkemas, menuntaskan ide-ide yang menumpuk di kepala anak didikku di kertas ulangan harian bab 2 itu. Perlu trik supaya hoby tersalurkan meski harus 'nakal' sedikit tidak pamit dengan bos besar karena sudah diprediksi tidak akan dikabulkan karena beberapa waktu lalu saya sudah banyak izin keluar demi tugas literasi. roda kendaraanku harus melesat sejauh 20 KM minimal pukul sembilan saya harus kejar hobyku, memenuhi undangan PWI dalam pelatihan kepenulisan bersama dosen fenomenal yang terkenal Killer di kalangan mahasiswa kala itu.
Stt, bukan berarti saya kepo ya Gaes, menurut penuturan rekan-rekan guru yang pernah diajar oleh beliau. Sontak pandanganku tertegun dengan ruangan yang mirip bioskop mini yang disulap menjadi ruang seminar. Lampu penerangan ruangan temaram, kursi berjajar bertingkat dengan warna merah marun dipertegas dengan beberapa lampu yang menyala, di depan terlihat slide show mirip semacam layar putih lebar berbingkai di dinding.
"Wow, Tanah Bumbu ternyata punya ruangan sekeren itu." Selama sejam berlalu, rupanya tak hanya saya yang berdecak kagum, setiap mata yang datang menunjukan ekspresinya yang tidak biasa. Maklum, jauh dari perkotaan membuat mata ini sering nggumunan jika ada sesuatu yang aneh di sekitar kita. Barangkali jika saya selfie hari ini, mungkin orang-orang di luar sana akan menganggap saya sedang nonton film di luar kota, Masyaallah.
Pelatihan kepenulisan dengan tema mengembangkan literasi yang dimotori oleh persatuan wartawan indonesia cabang Tanah Bumbu ini terkesan ekslusif karena jumlah peserta terbatas dan bertempat di gedung MMC Balitbangda yang sulit sekali diakses, maklum karena saya dan rekan-rekan masih belum mengenal medan hampir semua peserta pelatihan dibuat tersesat akan keberadaan gedung yang unik ini. Letaknya ditengah bangunan lama jauh dari pusat perkantoran pemerintah daerah dan akses jalan terbilang masih baru.
Akhirnya, segala rintangan hari ini mulai kabut asap dan sempat tersesat dengan jalur jalan yang salah terbayar dengan kehadiran Dr. Sainul Hermawan. Seorang dosen yang bergaya santai tetap penuh dengan kesantunannya memasuki ruangan yang remang-remang. Kedatangannya disambut dengan kelakar seorang moderator relijiyes yang selalu menyebarkan virus kebahagiaan bagi sekelilingnya yakni Puja Mandela yang akrab dipanggil Mbah Klowor.
Setelah beberapa saat dibuka secara seremonial oleh kepala KOMINFO dan ketua PWI Tanah Bumbu, Puja Mandela sebagai moderator sekaligus memposisikan sebagai wartawan bercerita banyak hal dengan gaya khasnya yang santai, mulai dari kode etik kewartawanan, citra buruk wartawan di masyarakat dan tips-tips menghadapi wartawan asing. Puja Mandela membuka pikiran saya tidak sepantasnya wartawan ditakuti, dan wartawan itu selalu bikin rusuh alias wartawan bodreks mohon maaf meminjam istilah dosen jurnaslitik semasa kuliah dulu yakni bapak Suroso.
Salah satu hal yang membuat saya tergelitik tentang pemaparan Dr, Sainul Hermawan, yakni menurut penuturannya ada salah satu mahasiswa semester tiga asal Banjarmasin yang mumpuni dalam hal kepenulisan. Beberapa ulasannya sudah terkumpul beberapa tahun terakhir baik berupa ulasan buku maupun ulasan film dari dalam dan luar negeri. Berkat kegigihannya dan tentu dengan kualitas tulisan yang tidak main-main akhirnya mengangkat namanya diharian lokal setiap minggunya. Â "Wow", bisa dibayangkan Gaes, dulu ketika saya seumuran dia, boro-boro punya ide menulis, sekadar menulis makalah tugas kelompok saja uring-uringan. Satu hal lagi yang membuat saya tercengang bahwa mahasiswi dengan nama Nauka Andini (maaf jika salah) adalah putri kandung sang doktor. Tapi saya bangga, meskipun kita dilahirkan di masa yang berbeda, kita satu gemblengan dikampus yang sama yakni di UNY tercinta. Pastinya UNY bangga punya mahasiswi berbakat seperti Nauka.
Literasi keluarga yang menjadi poin utama. Berbicara literasi, sebenarnya tak perlu ngelantur kesana kemari. Satu poin utama yang menjadi prioritas yakni pembiasaan. Jika pemerintah menggalakan 6 kecakapan literasi seperti literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi finansial, literasi kewarganegaraan dan budaya, literasi sains, dan literasi digital. Ada satu hal yang urgent sebenarnya sebelum memasuki keenam literasi tersebut yakni literasi keluarga. Literasi Keluarga merupakan dasar dari rangkaian pembiasaan sebelum akhirnya anak mengenal literasi baca-tulis sebagai literasi dasar dari gerakan literasi sekolah.
Nauka adalah sebagai contoh nyata, bahwa pembiasaan itu sangat penting untuk menumbuhkan bakat yang tadinya doktor Sainul pun sempat khawatir tentang kondisi Nauka kecil yang jauh dari interaksi sosial hingga membuat putri kecilnya mengalami hambatan berbicara. Kerasnya berproses Nauka kecil melawan kerasnya berproses  mulai hambatan berbicara sampai orang tuanya menyekolahkan di tempat yang jauh dari rumah membuatnya belajar tentang perjuangan.Â