Tak perlu kau marah, Mayaku. Terlalu dangkal kau tafsirkan permainan itu. Lihatlah seorang bocah kecil berkaleng bekas menabuhkannya bertalu-talu. Ia susuri aspal panas ibukota. Nyalinya tak pernah surut. Dia yakin recehan itu akan singgah satu dua keping setiap harinya. Tak pernah ia gadaikan mimpinya itu dengan permainan lego. Lagu yang dia nyanyikan bukan lagu bajakan milik para pesohor juga musiknya itu, ia rangkai dari rasa yang menjadi ibu peri penolongnya. Di tengah hari tiba, sebutir nasi pun akan ia nikmati meski tak berlauk daging pun pizza seperti anak gedongan.
“Aku kalah!?” Maya seakan menyerah.
Tidak, kau tak pernah kalah karena permainan itu baru saja kau akhiri. Ini babak baru saatnya kau ubah polamu memandang lukisan senja ini.
***
Lelaki entah harus kusebut apa dirimu, kau adalah warna yang melukis keindahan senja itu. Kusematkan janjimu yang bergaung di antara bayangan takdir tempo hari menerorku. Kini kutahu kau benar-benar pelukis andalan. Nalurimu tajam setajam guratan yang kau ceritakan di atas kanvas-kanvas hitam.
Kupandangi guratan-guratan lukisanmu di galeri kecil itu. Semua tampak jujur. Aku berharap lukisanmu itu menjadi takdirku di atas langit-langit biru.
Kau pelukis waktu yang hadir menemani sore terindah di antara sunset cintaku. Lukisan itu benar-benar nyata. Kau dan aku penghias cakrawala menyambut gemintang malam ini. “Dave, kau lelakiku pelukis senja itu.” Mata Maya berbinar menggenggam jemari seniman jalanan ibu kota itu.
Mia ismed, Tanah Bumbu, 08 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H