Hari masih pagi. Ikan-ikan di kolam besar tampak riang melompat-lompat. Taman disamping kolam berkilau ketika rumput yang berembun mendapat sinar matahari pagi. Seorang gadis kecil tampak asik menunjuk-nunjuk, mencoba mendekati sesuatu di bawah pohon mangga.
Wajahnya riang ketika didekatkan pada Donna. Ia tampak sedikit takut-takut ketika mencoba menyentuh mahluk lucu ini. Donna, demikian dipanggilnya, adalah seekor kelinci gemuk berwarna coklat yang dibiarkan bebas di taman kecil ini. Ia biasanya senang berlari ke balik pohon-pohon kayu manis bertinggi selutut untuk bisa dengan bebas makan rumput atau wortel yang diberikan padanya. Donna sangat ramah pada setiap orang. Ia sangat suka dielus-elus oleh tangan-tangan halus dan mungil ini.
Sambil tetap asik menyantap rumput melimpah di depannya, Donna sesekali melirik tangan mungil yang mengelusnya. Siapa pemilik tangan halus ini? Ia mendapati senyuman riang ditujukan padanya. Gigi tonggos Donna terlihat setelah ia tahu pemilik senyum riang ini.
Tiba-tiba saja Donna berlari menuju semak di sebelah kolam ikan dan menghilang. Pemilik tangan mungil ini merasa kehilangan. Donna ternyata masuk ke semacam lubang panjang dan berlari kecil menuju ujung lubang tersebut dimana seberkas cahaya terang tampak. Ada matahari yang menyinari tempat di ujung lubang ini. Ketika Donna sampai di ujung lubang, iapun tiba-tiba berubah menjadi tinggi, dengan janggut panjang, bertopi lancip dan jubah membalut seorang kakek yang menumpukan satu tangannya pada tongkat kayu Oak tua.
Sungguh senang hati kakek, yang tadinya adalah Donna, ini. Ia seperti menemukan sesuatu yang penting.
“Ya!” katanya. “Ya! Gadis kecil itu!”
Ia kemudian bergegas menuju pohon besar di ujung jalan setapak yang ada di tengah hutan ini. Sesampainya di bawah pohon itu, ia mengetukkan ujung tongkatnya tiga kali.
“Remnitalis,” suara beratnya mengiringi.
Akar-akar pohon itu, tiba-tiba bergerak dan membuka, seakan-akan memberi jalan untuk bisa dimasuki. Memang benar, itu adalah pintu rumah dari si kakek. Ia kemudian bergegas masuk, langsung menuju lemari yang penuh berisi buku-buku tebal. Kakek ini menuju sisi kanan atas lemari ini.
“Barrimu Sesethi,” ia terus berguman dan matanya mencari-cari di tumpukan buku-buku itu.
“Aha!” serunya.