Mohon tunggu...
mhsantosa
mhsantosa Mohon Tunggu... Penulis - Belajar sepanjang hayat...

Belajar sepanjang hayat...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berbagi Digital? Bagaimana dengan Jejaknya?

11 November 2012   05:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:38 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi sudah mengarah pada konsep berbagi secara digital (cf. digital sharing). Sebut saja berbagai aplikasi media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Foursquare, Flickr, dan lain-lain. Bahkan, bisa dibilang, setiap saat banyak aplikasi-aplikasi baru bermunculan. Seiring bertambahnya pengguna pada suatu aplikasi yang dilengkapi oleh fitur berbagi digital ini, saya lihat banyak sekali isu yang bisa kita kaji lebih mendalam. Seiiring perkembangan teknologi yang begitu pesat, tentu berbagi digital bisa sangat membantu sekaligus menyenangkan. Hal ini dimungkinkan oleh fasilitas konektivitas internet dan fitur berbagi multi platform. Misalnya, saya bisa saja berbagi tentang berita kekerasan di Lampung, Indonesia, pada saat ini juga. Atau tentang hal sederhana, saya sedang menonton pertunjukkan musik. Orang lain bisa saja berbagi mengenai hal lain. Dengan adanya fasilitas internet on the go ini, orang lain akan lebih cepat mengetahui suatu informasi atau peristiwa dengan fitur berbagi digital ini. Hebatnya, bahkan lebih cepat dari media massa! Selain berbagi, mencari informasi juga dipermudah. Namun akan muncul akibat lain, seperti bagaimana kita menganalisa banyak informasi agar bisa menjadi pemahaman. Yang menggelitik saya akhir-akhir ini adalah isu tentang jejak digital. Saya yakin isu ini sangat penting saat ini, terutama bagi semua orang yang memiliki profil daring (online profile). Sering saya jumpai berbagai status, kicauan, foto, atau opini di berbagai platform media social yang menarik. Ada yang baik ada yang kurang baik, misalnya kata-kata atau gambar kurang pantas, atau hanya sekedar ekspresi perasaan saja. Yang menjadi pertanyaan, sadarkah bahwa apa yang kita lakukan di berbagai platform tersebut akan terus ada? Dan dengan fitur “search” pihak lain akan mudah mengetahui seperti apa kita. Anggap saja, kita ingin melamar suatu pekerjaan di perusahaan yang reputasinya top. Bisa saja, pihak perusahaan meng-google profil kita. Jika kita memiliki akun-akun di platform media sosial, tentu tidak sulit bagi pihak perusahaan ini menemukan dan mengetahui tentang diri kita lebih lanjut. Dan image daring yang kita tampilkan tersebut mungkin bisa mempengaruhi penilaian terhadap diri kita sekaligus mempengaruhi keputusan akan lamaran pekerjaan itu – bisa baik, bisa buruk. Rekan saya di Personal Learning Network (PLN), David Hopkins, menyebutkan bahwa sekitar 80% siswa Business School tahun pertama merasa bahwa profil daring mereka tidak aman (tautan). Ini di Amerika. Saya sampai saat ini belum melihat hasil sejenis di konteks Indonesia (tentu ini peluang riset!) Saya kok merasa yakin, hal ini terjadi juga di Indonesia. Apalagi, menurut situs Social Bakers, orang Indonesia adalah pengguna media sosial (Facebook) nomor 4 setelah Amerika, Brazil dan India (akses November 4, 2012, lihat tautan). Untuk Twitter, Indonesia bahkan nomor 2, setelah Venezuela (lihat tautan). Ini jumlah yang sangat besar di dunia. Dan, jumlahnya terus meningkat. Meski belum ada hasil penelitian sahih mengenai seberapa aman orang dengan profil daring mereka, banyak aktivitas di media sosial saya lihat demikian. Bagaimana menjaga profil daring kita? Berikut saya tampilkan infografis mengenai hal ini.

Ini hanyalah salah satu infografis dari empat lainnya mengenai E-Reputation. Untuk lebih jelasnya, bisa dibaca di tautan ini.

Jelas sekali disampaikan bahwa isu keamanan dan representasi profil personal penting. Selain benar-benar menjaga profil daring pribadi agar tidak mudah diretas, hendaknya apa yang kita sampaikan di media sosial juga benar-benar merepresentasikan profil terbaik masing-masing. Berikut ini adalah presentasi mengenai "How to Survive Online" oleh David Hopkins.

Sekarang, coba google diri Anda, hal apa sajakah yang muncul? Tautan mana mengenai apa yang paling pertama muncul? Dari sana, kita tentu bisa merefleksi bagaimana profil daring kita sendiri. Jika berkenan, aplikasi Digital Footprint Calculator juga bisa digunakan untuk mengetahui jejak digital personal melalui serangkaian pertanyaan survei.

Yang perlu diingat tentu bahwa ini bukan untuk saat ini saja, namun di masa depan. Semoga bermanfaat.

©mhsantosa (2012) I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun