Mohon tunggu...
mhsantosa
mhsantosa Mohon Tunggu... Penulis - Belajar sepanjang hayat...

Belajar sepanjang hayat...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wayan Jani*

8 Desember 2011   17:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:39 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_154619" align="aligncenter" width="300" caption="Wayan"][/caption] Pagi hari, ayam berkokok nyaring dan Wayan baru saja bangun. Hari ini terasa melelahkan baginya setelah kemarin seharian berjalan tanpa henti bekerja. Pekerjaannya tidak susah tidak gampang. Ia hanya perlu mendekati beberapa orang di setiap tempat yang ia kunjungi dan menadahkan tangannya sambil memelas. Sekolah sudah ia tinggalkan beberapa bulan ini karena orang tuanya tidak sanggup membiayainya lagi. Ia harusnya berada di kelas 3 SD saat ini. Teringat teman-temannya pasti sedang riang belajar. Ketika bel istirahat berbunyi nyaring, mereka pasti berlarian menuju kantin atau menuju lapangan berdebu tempat upacara bendera di hari Senin untuk bermain. “Wayan, Wayan, bangun Yan” Meme* memanggilnya. “Ya Me” sahut Wayan setengah malas. “Ayo, bersiap Yan, kita bekerja lagi.” “Baik Me” sahut Wayan lagi. Sesungguhnya, ia sangat ingin bersemangat untuk bersiap. Namun, bersiap untuk ke sekolah, bukan bekerja meminta belas kasihan orang lain seperti yang saat ini ia lakukan. Teringat ia akan kata-kata seorang Bapak yang ia temui kemarin ketika sedang menyantap makanannya. “Kelas berapa sekarang?” tanya Bapak itu. Dengan malu, Wayan menjawab, “Kelas 3 SD.” “Kenapa tidak sekolah, hari ini kan hari sekolah?” Bapak itu kembali bertanya. Wayan hanya terdiam. Hanya diam yang ia bisa lakukan saat ini. Pekerjaan ini sebenarnya memberi penghasilan yang tidak sedikit bagi Wayan dan Ibunya. Sehari, ia sendiri bisa mendapat Rp. 80.000 kalau sedang beruntung. Sedang kalau sedang sepi, ia hanya bisa mendapat sekitar Rp. 40.000. Namun, keinginan terbesarnya hanya satu saat ini, sekolah. Selain ia tahu bahwa tidak semua orang menerima pengemis, ia hanya ingin agar ia mendapat ilmu untuk ia gunakan memperbaiki hidup. Bapak itu kemudian memberi sejumlah uang, tidak banyak memang, sebelum pergi. Wayan malu untuk mengucapkan terima kasih. Ia hanya berjanji dalam hatinya, bahwa ia harus segera bisa sekolah. *Sekarang/saat ini (Bahasa Bali) **Ibu (Bahasa Bali) **Ilustrasi foto sengaja disamarkan. Tidak ada maksud apapun dari foto yang digunakan sebagai ilustrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun