Pukul 12.45. Hari begitu cerahnya. Langit tampak biru bersih. Hanya beberapa gumpalan tipis awan yang terlihat berusaha meredam terik matahari. Matahari sedang gagah-gagahnya melakukan show of performance. Siapa pun yang masih punya pilihan lain akan lebih memilih tinggal di bawah tempat-tempat terlindung ketimbang berada di bawah sengatan sinar matahari langsung. Tukang ojek yang sedang tidak punya penumpang memilih berteduh di bawah pohon rindang di pinggir jalan. Pandangannya tetap jelajatan, waspada kalau-kalau seseorang mengharap bantuan jasanya. Sejumlah pejalan kaki berusaha melindungi kepalanya dari terik matahari menggunakan tangannya sambil mempercepat langkahnya. Usaha yang sia-sia karena hanya sebagian kecil kepalanya yang dapat terlindungi. Maklum, belum pernah ada telapak tangan selebar kepala. Yang sedikit lebih beruntung adalah penjaja makanan kecil yang membawa baki besar tempat dagangannya di atas kepalanya. Cukup lebar melindunginya dari terpaan matahari. Tapi jangan salah, jalanan aspal telah berkompromi dengan matahari memantulkan panasnya dari bawah. Yang lebih beruntung lagi adalah mereka yang berada di atas mobil angkot yang lalu lalang siang itu. Tubuh-tubuh mereka terlindungi oleh kap mobil. Tetapi kegerahan yang hampir sama tetap terasa. Berhimpit-himpitan di antara banyak penumpang lain dan kesaktian panas yang mampu menerobos penghalang-penghalang apapun. Tetapi yang jauh lebih beruntung adalah mereka yang berada di ruangan-ruangan sejuk ber-AC, di kantor-kantor yang elit, di kamar-kamar rumah yang mewah, di atas mobil-mobil mewah yang sudah pasti juga dilengkapi dengan AC. Panas yang semestinya memasuki ruangan mereka tak berdaya diserap oleh perangkat AC itu lalu dihempaskan ke lingkungan luar. Lingkungan orang-orang kebanyakan. Di sebuah rumah yang cukup sederhana, yang terletak di sebuah sudut jalan, kegerahan cuaca juga terasa di tubuhku. Kegerahan ini semakin terasa karena hampir semua dinding rumah ini terbuat dari seng. Atap rumah yang sangat rendah serta perabot rumah yang berdesak-desakan semakin menambah pengap. Bintik-bintik keringat sebagai reaksi kegerahan mulai bermunculan di wajahku. Rumah ini memang terbilang sederhana dan sempit. Dengan ukuran kira-kira 6 x 5 m, rumah ini terdiri atas 6 kamar. Di bagian depan ada kamar tamu yang diapit oleh tiga buah kamar tidur. Satu kamar tidur di sebelah kiri dan dua kamar tidur di sebelah kanannya. Kamar tidur di sebelah kiri merupakan kamar tidur yang paling luas. Kira-kira berukuran 1,5 x 3 m. Sedangkan yang terletak di sebelah kanan ruang tamu ukurannya sama dengan kamar di sebelah kiri. Hanya saja dibagi menjadi dua kamar dengan luas yang kurang lebih sama, masing-masing 1,5 x 1,5 m. Di bagian belakang, berderet-deret ruang makan, dapur dan kamar mandi dengan lebar masing-masing hanya 2 m, dan panjang keseluruhannya 6 m, 1 m untuk kamar mandi, 2 m untuk dapur, dan 3 m untuk ruang makan. Sungguh suatu rumah yang sangat sederhana, sempit dijejali perabotan-perabotan yang tak kalah sederhana. Siapapun tidak akan menyangka bahwa di rumah ini telah lahir dan besar seseorang yang kini menjadi salah satu pembesar di perguruan tinggi negeri ternama di Sulawesi Selatan. Untuk mengurangi sedikit rasa gerah, aku memilih duduk di beranda yang terletak di sebelah barat rumah seusai menunaikan shalat dhuhur. Basah air wudhu sejak tadi telah menguap dari kulit-kulitku. Pohon-pohon mangga di seberang jalan yang daunnya rimbun dan lebat sedikit menetralisir rasa panas. Angin sepoi-sepoi menjadi oposan rasa panas, mengipasi mukaku yang mulai bercucuran peluh. Aku mengatur kursi yang kududuki agar menghadap ke selatan. Pandanganku melewati tiga saf rumah di hadapanku. Dengan posisi yang seperti ini aku leluasa memandang hamparan air danau Matano yang kebiru-biruan. Rumah ini memang terletak pada saf ke empat dari pinggir danau Matano yang terletak di Soroako kabupaten Luwu Timur. Hari ini adalah hari kedua saya berada di Soroako. Kemarin pagi saya tiba dari Makassar setelah menempuh perjalanan darat sejauh 700 km selama kurang lebih 12 jam. Saya berada di sini karena teka-teki nasib. Bulan Agustus lalu saya mencoba mengirim surat lamaran untuk menjadi tenaga pengajar di sebuah sekolah yayasan di tempat ini. Sekolah yang dinaungi oleh Yayasan Pendidikan Soroako, yang segala keperluannya ditanggung bulat-bulat oleh sebuah Perusahaan Tambang Nikel Internasional yang terletak di tempat ini. PT. Internasional Nickel Corporation Indonesia atau PT. INCO Indonesia namanya. Dua bulan berlalu tanpa berita apapun. Diterima atau ditolak. Saya sudah melupakannya seandainya tidak masuk sebuah pesan singkat di handphone saya yang mengatakan :
“Selamat siang. Candidat yang kami sms ini lulus berkas penerimaan tenaga pengajar di YPS Soroako. Panitia Ada di Wasuponda untuk memberikan surat panggilan. Mohon datang tepat waktu. Salam Dekker f. Rorie.”
Pesan inilah yang mengundangku datang ke Soroako ini. Memenuhi panggilan teka-teki nasib. Prosedur pertama teka-tekinya itu adalah saya harus mengikuti ujian tertulis yang dilaksanakan oleh Panitia Penerimaan Pegawai di YPS. Sebuah tes sederhana tapi sangat membingungkan bagi yang tidak paham berbahasa Inggris. Aku sudah melaluinya kemarin dan sekarang saya sedang menunggu jawaban pasti dari sang nasib. Sudah sekitar 22 jam aku menunggu kepastian nasib. Aku tahu jika dalam jangka waktu 24 jam nasib belum juga memberiku kepastian, berarti saya harus kembali ke Makassar. Barangkali sang nasib hanya mengundangku untuk sekedar berjalan-jalan ke Tanah Luwu ini. Bukankah saya memang punya ambisi untuk menginjakkan kaki ke seluruh kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan? Dan Soroako Luwu Timur adalah tempat yang baru pertama kalinya saya kunjungi. Wilayah terjauh dari pusat kota Makassar yang pernah saya datangi. Kemarin sore, saya telah menyempatkan menjelajahi tempat-tempat rekreasi di kota Soroako. Saya sudah merasakan kesegaran air Danau Matano, melihat pemuda-pemudi Soroako bersantai ria di sepanjang pesisir danau yang memang disediakan sebagai kawasan rekreasi, telah menginjakkan kaki-kakiku pada hamparan rumput luas pada kawasan lokasi perumahan pegawai-pegawai PT. Inco yang berbukit-bukit, mengagumi keindahan alamnya, keunikan batu-batuannya yang mengandung biji-biji nikel, dan kearifan-kearifan lokal masyarakat pesisir danau yang dekat dengan rumah yang saya tempati. Semua itu tampaknya dianggap telah cukup oleh sang nasib sebagai ucapan selamat datang untukku. Semacam field trip setelah mengikuti prosedur teka-tekinya. Prosedur teka-tekinya sendiri hanyalah sekedar perantara agar saya dapat menikmati keindahan alam Soroako. Sang nasib tidak perlu memberi penilaian atas jawaban tes yang telah kutuliskan. Aku dianggap sudah bisa menduga sendiri hasilnya. Prosedur kedua dari teka-tekinya mungkin saat ini telah digelar tanpa keikutsertaan saya lagi. Tokh, saya memang sekedar diundang untuk menikmati keindahan panorama alam Soroako. Itu saja! Breetttt…. Breeettt…Breeeeeettttt….. Handphone yang terletak di atas meja di sampingku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Inikah kepastian hasil jawaban prosedur pertama teka-teki yang kulalui kemarin? Inikah perkenan sang Nasib untuk mengikuti prosedur kedua teka-tekinya? O, bukan! Sebuah pesan singkat dari teman saya di Makassar, Basir. “Gmn Soroako, kwn? Ada penerimaan dosen di sini. Sampai tanggal 24 Des. Cb daftar kwn. Ini saatnya.” Aha! Jadi dosen. Inilah sesungguhnya cita-cita orisinal saya. Bukannya malah menjadi guru. Secara prinsip memang sama, tapi dari segi prestise beda. Dari dulu memang saya punya cita-cita yang tinggi untuk jadi dosen. Tapi bukan karena prestisenya, melainkan karena tingginya tuntutan untuk harus selalu belajar jika menjadi seorang dosen. Siapa pun tidak ingin tampil konyol di depan orang-orang muda berbakat yang penuh semangat keingintahuan. Di depan mahasiswa-mahasiswa yang enerjik, kritis, dan idealis. Maka sebagai seorang dosen, pengetahuan harus selalu up to date. Saya tidak ingin jadi dosen yang hanya mengandalkan catatan kuliah yang saya buat saat masih mahasiswa dulu. Yang hingga sekarang masih tersimpan dengan warna kertas yang sudah kekuning-kuningan. Berubah dari warna aslinya yang putih polos. Bolong-bolong termakan kutu hingga beberapa hurufnya telah menghilang. Inilah alasan utamanya. Dengan menjadi dosen, saya akan terus terlecut untuk belajar dan belajar. Mau tidak mau! kecuali siap dengan resiko seperti ayam pesakitan yang meringkuk di sudut kandang di tengah-tengah cemoohan mahasiswa. Dan pesan singkat dari Basir yang masuk ke dalam handphone saya mendadak menjadi info yang sangat menarik di tengah-tengah kegerahan cuaca ini. Tapi,…. Bagaimana dengan proses yang sedang saya jalani ini? Menunggui berita kelulusan saya justru sebagai calon tenaga pengajar di YPS yang sesungguhnya bukan cita-cita saya dan hingga sekarang informasi kelulusannya belum saya terima-terima? Haruskah saya meninggalkannya begitu saja? Nun jauh di dalam diriku tiba-tiba hati kecilku berbisik. Jangan coba-coba menentang takdir. Apakah kamu yakin bahwa kamu akan jadi dosen? Bukannya malah menjadi seorang guru? Bukankah sekarang jalan hidup seperti akan menuntunmu menjadi guru? Jangan-jangan kesempatan jadi dosen ini hanya ujian bagiku. Menguji ketamakanku. Jangan-jangan saya sebenarnya akan lulus di YPS tetapi nasib sengaja menunda pemberitaannya dan memberiku umpan untuk mendaftar jadi dosen. Hati-hati, jangan menjadi orang yang tamak. Akh,… kegerahan mendadak terasa semakin menjadi-jadi. Aku mengusap keringatku kembali. Tiba-tiba saya teringat cerita Si Lebai malang. Seorang lebai plin-plan yang diundang menghadiri sebuah kenduri di satu tempat. Di tengah jalan, undangan kenduri di tempat lain juga diterimanya. Si Lebai bingung. Sudah menuju ke tempat kenduri yang pertama, tiba-tiba undangan kenduri di tempat lain mengganggunya. Lebai tahu di tempat itu makanannya enak-enak sementara makanan di tempat yang sedang ditujunya kurang enak. Lebai kemudian putar haluan. Tapi di tengah jalan lebai disergap lagi rasa bimbang. Di tempat yang pertama dia akan dapat banyak makanan. Walau pun tidak enak dia dapat membawanya sebagian ke rumah sebagai oleh-oleh. Sedangkan di tempat yang sedang ditujunya ini, makanannya memang enak tapi dia hanya dapat sedikit. Tidak ada yang bisa dibawa pulang. Lebai putar kemudi lagi. Tapi ragu lagi. Bolak-balik. Akhirnya dia putuskan untuk ke tempat yang kedua. Tapi apa lacur, setiba di sana kenduri sudah usai. Buru-buru lebai ke tempat yang pertama. Tetapi hasilnya sama, dia hanya menemukan orang-orang yang sedang bersih-bersih bongkar tenda habis hajatan. Tak satupun dia dapatkan karena ketamakannya. Saya tidak ingin bernasib seperti Lebai itu. Aku harus memutuskan untuk konsisten dan komit pada satu hal dulu kemudian beralih pada hal lain. Tokh, di Makassar sana mungkin ada puluhan bahkan ratusan orang yang sedari dulu menanti-nanti kesempatan pendaftaran dosen ini. Persaingan akan sangat ketat.... "Yg benar kwn. Sy kira syarat pendaftar adalah S2” Saya membalas pesan kawan saya, Basir. Sekedar berbasa-basi. Seolah saya ingin meyakinkan kebenaran informasi itu kemudian segera mendaftar. “Diturunkan kwn. Tidak ada pelamar S2 sampai sekarang. Makanya diturunkan jadi S1” Saya jadi bimbang. Bagaimanpun, sedari dulu memang cita-cita saya adalah jadi dosen. Salah satu keuntungan jadi dosen bagi saya adalah peluang untuk melanjutkan sekolah akan lebih terbuka lebar. Maklum, sejak kecil dulu saya sering berkhayal di depan nama saya tertulis embel-embel Profesor Doktor. Dan khayalan itu baru dapat tercapai jika saya sekolah sampai tingkat doktoral. Mana ada seorang sarjana S1 bisa langsung pasang Profesor Doktor di depan namanya? Aturan akademik mengharamkan hal itu. Nah, kalau jadi dosen, kesempatan untuk mencapai profesor doktor lebih besar. Lagi pula saya ingin menjadi seorang researcher. Periset dalam bidang fisika energi tinggi. Saya ingin mengintip aktivitas sehari-hari unit terkecil penyusun materi, atom-atom, elektron-elektron, proton-proton, dan neutron-neutron. Ingin melihat bagaimana itu quark, apakah masih ada yang lebih kecil dari pada quark. Dan semua itu bisa terjadi kalau saya menjadi seorang dosen fisika. Lalu meningkat menjadi seorang fisikawan dengan spesialisasi energi tinggi. Waw, sungguh fantastis kedengarannya.... Dan sekarang, ketika kesempatan untuk mewujudkan itu semua terbuka, apakah saya akan menolaknya? Tiba-tiba di depan pelupuk mataku muncul bayangan Si Lebai yang malang. Muncul dengan sebuah seringai yang aneh. Seolah-olah dia mengatakan: Coba sajalah…. Tapi,…. Aku tidak ingin seperti si Lebai yang malang! Aku tidak ingin mengganggu kesempatan senior saya. “Trima ksh sarannya. Tp biar sy tunggui sj dulu pengumuman sy di sini. Km sj yg daftar, kwn.” Saya akhirnya beralih menyuruh Basir yang mendaftar. Saya berupaya mengalihkan upaya persuasif Basir yang serius menyuruhku mendaftar dengan berbalik memintanya mendaftar. Saya tahu dia pasti akan terus-terusan menyuruhku mendaftar sampai saya takluk pada keinginannya. Dia memang sangat mendukung saya jadi dosen. Sahabat mana yang tidak bahagia hatinya melihat sahabatnya berhasil mencapai cita-citanya? Siapa yang mau salahkan ini padanya? Tetapi saya tidak ingin terus-terusan disuruh olehnya yang akan membuat saya bimbang. Saya tahu kalau didesak terus lama-lama saya akan jadi terpengaruh juga. Padahal saya sudah komitmen untuk tidak ikutan daftar dosen dulu. Pasti akan ada kesempatan lain kalau memang takdir saya akan menjadi dosen. Seringai Si Lebai di depan mataku terasa makin aneh. Semakin mulai saya terpengaruh semakin jelas keanehan seringainya. “Tdk bs sy kwn. Kamu sj. Tunggu apa lagi. Tdk ada salahnya mencoba. Tinggal dua hr lagi pendaftaran tutup.” Tuh, kan? Hipotesisku benar. Basir tetap keukeuh mendorong. Si Lebai juga tidak lelah-lelahnya menyeringai. Bagaimana ini? Saya makin bimbang. Agitasi Basir harus segera dihentikan. Untunglah akhirnya saya menemukan jawaban yang tepat. “Nanti dilihat. Asal kau jg mau mendaftar.” Ha! Ini sepertinya mengena. Dengan mengajukan syarat agar dia juga mendaftar, saya rasa dia akan berhenti menyuruhku. Pasti dia tidak bisa memenuhi syarat yang kuajukan. Bukankah tadi dia sudah bilang tidak bisa? Dengan syarat ini otomatis dia tidak akan merayuku lagi. Ck, ck, ck, ..Cerdik juga. Tepat! Sepertinya pesan terakhir saya ini memang efektif menghentikan dorongan moral Basir kepadaku. Pesannya sudah tidak masuk-masuk lagi. Mungkin hanya karena pulsanya yang habis. Atau sedang mempertimbangkan syarat yang kuajukan. Untuk sementara, saya merasa lega bebas dari hasutan. Tiba-tiba bayangan Si Lebai pupus. Hilang entah kemana. Saya memang tidak tidak ingin menjadi seperti Lebai yang malang itu. Aku harus menuntaskan menunggui kata-kata tegas sang nasib sebelum melanjutkan ke langkah berikutnya yang masih samar-samar. Saya yakin jika takdir saya adalah menjadi seorang dosen, maka nasib akan punya seribu satu jalan untuk memberiku kesempatan mendaftar jadi dosen. Dalam kondisi yang tidak mungkin sekalipun. Jika Dia memang berkehendak, maka cukuplah bagi-Nya dengan kata-kata-Nya : KUNFAYAKUN, jadilah! maka jadilah saya seorang dosen. Sebuah senyum samar terukir di bibirku. Senyum kelegaan.
* * *
Matahari sekarang telah jauh melewati titik paling tingginya di langit. Perlahan-lahan Sang Raja Siang telah menggeser posisinya ke arah barat. Cuaca gerah pun sudah dari tadi berkurang. Dari arah timur, suara kaset dari audio system masjid melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tanpa terasa jarum jam telah bergerak menuju pukul 03.15 sore hari. Waktu shalat ashar telah mendekat. Mendadak saya merasakan level kegelisahanku meningkat, frekuensi debaran jantungku naik sekian hertz. Telah lewat 24 jam aku menunggu berita hasil tes kemarin. Namun yang ditunggu tak kunjung tiba juga. Debaran jantungku semakin menjadi-jadi saat aku teringat informasi panitia penerimaan pegawai di YPS sebelum tes dimulai kemarin. Dikatakan bahwa jika dalam waktu 1 x 24 jam belum menerima informasi panggilan untuk tes berikutnya berarti Anda dinyatakan belum dapat bergabung di YPS Soroako. Hhhhh..... Aku membuang nafas panjang-panjang. Membuang harapan diterima di YPS Soroako. Inikah pertanda bahwa sang Nasib justru akan menuntun jalanku menjadi seorang dosen? Membenarkan dugaanku bahwa keikutsertaanku pada seleksi pertama setelah lulus berkas di YPS Soroako hanyalah karena nasib ingin memenuhi impianku menjelajahi daerah-daerah di Sulawesi Selatan? Sebelum kemudian memberiku kesempatan untuk jadi dosen? Dalam kegelisahan penantian yang mendebarkan saya termangu-mangu sendiri. Kepalaku sesak dengan seribu satu macam pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang semua jawabannya hanya rekaan-rekaan. Samar-samar. Mengadung banyak kemungkinan-kemungkinan. Perlahan-lahan seiring suara azan ashar berkumandang, terbersit satu tekad dalam hatiku: setelah shalat ashar nanti, saya akan bertolak kembali ke Makassar. Ya, saya harus kembali ke Makassar! Tiba-tiba Si Lebai nan malang kembali muncul di depan mataku setelah sempat pupus sebelumnya. Barangkali tadi dia hanya istirahat karena kelelahan dengan seringainya. Dan sekarang seringainya memang tambah aneh. Tapi saya tidak mau ambil peduli! Hari ini juga saya akan kembali ke Makassar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H