Kendari, Sulawesi Tenggara - Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama. Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlepas dari tangan dingin keduanya, bagaimana tidak wilayah Indonesia yang dikenal dengan sebutan Nusantara dari Sabang hingga Merauke, dari pulau Miangas hingga pulau Rote meliputi gugusan pulau-pulau kecil dan besar semisal pulau Jawa, Sumatera, Papua-Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi yang dihuni oleh masyarakat dengan beragam agama/etnik/budaya mampu dipersatukan dalam tali persaudaraan dibungkus dengan semangat kebangsaan melawan penjajahan kolonial Belanda (1602-1945) dan penjajahan Jepang (1942-1945) kala itu. Selain itu salah satu karya fenomenal dan tiada tara yang sampai hari tidak ada samanya dibelahan dunia manapun yakni Pancasila yang saat ini menjadi Ideologi bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pasca kemerdekaan, bung Karno julukan Ir. Soekarno secara utuh sadar dan paham betul bahwa Indonesia sesungguhnya belum sepenuhnya merdeka dari penjajahan dan perjuangan kemerdekaan masih sangat jauh dari kata berhasil, penjajahan yang lahir dari dalam diri bangsa itu sendiri, penjajahan yang terjadi sebagai akibat dari warisan kolonialisme yang menjajah ratusan tahun lamanya sehingga berdampak lahirnya mentalitas terjajah, kehilangan rasa kepercayaan diri, mental rendah hati, mentalitas pecundang sehingga memunculkan program nation and character building atau yang kita kenal dengan konsep revolusi mental.
Konseptualitas revolusi mental yang dicetuskan Bung Karno saat itu menjadi sebuah bukti bahwa kemerdekaan yang sekarang menginjak 75 tahun barulah sebatas pintu gerbang kemerdekaan. Revolusi belum selesai dan akan terus berjalan seperti kata Bung Karno.
Bung Karno menjelaskan lebih mendalam dalam pidatonya di peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1956 bahwa ada tiga fase revolusi bangsa kita saat ini, dua fase telah kita lalui secara berhasil dan satu fase lagi menghadang sebagai tantangan. Bangsa Indonesia telah melewati fase physical revolution (1945-1949) dan fase survival (1950-1955). Kemudian ia menandaskan bahwa sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya : investment of human skill, material investment, dan mental investment (Yudi Latif, 2014).
Indonesia dan Revolusi Mental
Revolusi mental yang digaungkan pemerintahan Presiden Jokowi Widodo sejak bersama Wakil Presiden Yusuf Kalla dan saat ini bersama K.H. Ma’ruf Amin masih terus menjadi gerakan nasional yang tertuang dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden.
Revolusi mental ala Jokowi bukanlah hal baru lagi, hal senada telah pernah digaungkan oleh bung Karno di pertengahan tahun 1950-an tepatnya pada tahun 1957. Menurut Yudi Latif (2014), bahwa inti revolusi mental adalah perubahan mendasar dalam struktur mental manusia Indonesia melalui proses nation dan character building. Sedangkan menurut Bung Karno adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.
Mungkin bagi sebagian kalangan terdengar asing dengan kalimat revolusi mental, revolusi mental sejatinya merupakan suatu bentuk ide yang lahir sebagai program nation dan character building yang tertuang dalam konsep Trisakti yang dicetuskan Bung Karno yang memuat tiga poin penting yakni (1) Indonesia yang berdaulat secara politik, (2) Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan (3) Indonesia yang berkepribadian secara kebudayaan yang kemudian di adopsi Jokowi yang termuat dalam Visi Misi nya yang menjadikan Trisakti sebagai centrum dalam pembangunan karakter kebangsaan dan landasan kebijakan nasional masa depan.
Kontekstualitas Trisakti kemudian dijabarkan ke dalam Visi pemerintahan “TERWUJUDNYA INDONESIA YANG BERDAULAT MANDIRI DAN BERKEPRIBADIAN BERLANDASKAN GOTONG ROYONG” yang dimana Gotong Royong merupakan intisari dari Ideologi Pancasila, dan Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian sebagai amanat Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti yang harus diwujudkan.
Akan tetapi kontekstualitas Trisakti yang kemudian tereduksi dalam Visi pemerintahan seperti yang gaungkan belum juga terbukti ampuh dan justru kondisi bangsa semakin jauh dari konsep tersebut. Memasuki tahun 2020, sistem politik semakin carut marut dan cenderung mementingkan kepentingan kelompok/golongan tertentu, sistem ekonomi juga semakin tidak jelas hal tersebut dibuktikan dengan impor kebutuhan pangan semisal beras, daging sapi, gula mentah, gandum hingga pacul. Selanjutnya tidak stabilnya harga bahan pokok dan harga bahan bakar minyak (BBM) serta semakin maraknya Investor asing yang masuk ke Indonesia.