Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah atau otoritas moneter dengan menggunakan peubah jumlah uang beredar (money supply) dan tingkat bunga (interest rates) untuk mempengaruhi tingkat permintaan agregat (aggregate demand) dan mengurangi ketidakstabilan di dalam perekonomian (Warjiyo, 2006). Untuk melihat pertumbuhan ekonomi yang stabil, pasokan uang harus tumbuh pada tingkat yang tetap, bukan sedang diatur dan diubah oleh otoritas moneter (Sean, 2019). Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan Gross Domestic Product (GDP) atau Gross National Product (GNP) tanpa meninjau apakah peningkatan tersebut lebih besar atau kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk serta apakah terjadi perubahan struktur ekonomi (Asnawi, 2018). Dalam era globalisasi saat ini perekonomian negara lain dapat memengaruhi perekonomian dalam negeri, sehingga kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah baik melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter juga akan ikut terpengaruh oleh faktor eksternal (Kemenkeu RI, 2018). Salim (2018) menjelaskan bahwa sisi moneter merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah perekonomian, pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa dianalisis tanpa melibatkan persoalan moneter.
Guncangan yang terjadi pada perekonomian global dapat mempengaruhi kondisi perekonomian nasional. Untuk mengurangi dampak guncangan perekonomian global terhadap perekonomian dalam negeri, dibutuhkan kebijakan yang efektif dan efisien baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal diikuti dengan berbagai kebijakan ekonomi lainnya. Fokus penerapan kebijakan moneter di Indonesia sesuai dengan UU no. 23 tahun 1999 yang kemudian telah diubah dalam UU No. 3 tahun 2004 mengenai kebijakan moneter, disebutkan bahwa Bank Indonesia diberi amanah sebagai otoritas moneter ganda yang dapat menjalankan kebijakan moneter konvensional maupun syariah, maka kebijakan moneter yang ditempuh menggunakan dual monetary policy yakni konvensional dan syariah dengan tujuan utama kebijakan moneter di Indonesia adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yaitu kestabilan harga (inflasi) dan nilai tukar rupiah.
Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia. Pada tahun 2011 dan tahun 2012 memiliki tingkat inflasi aktual yang sangat baik sebesar 3.79% dan 4.30%, yaitu di bawah target inflasi. Sedangkan pada tingkat inflasi aktual tahun 2013 dan 2014 menunjukan angka secara umum telah mencapai 8.38% dan 8.36%, hal ini menunjukan tingkat inflasi yang kurang baik dikarenakan angka inflasi ini jauh dari target tahun tersebut. Selain itu tingkat inflasi hampir mendekati angka 10%. Sedangkan untuk tahun 2015, nilai tukar rupiah meningkat sebesar Rp 13,500/dolar AS. Dalam hal ini dapat dikatakan target pencapaian inflasi pemerintah kurang maksimal dalam dua tahun terakhir ini, yaitu menuju sasaran inflasi yang rendah dan stabil.
Pemerintah menggunakan kebijakan moneter sebagai pengendali inflasi, yaitu stabilisasi harga. Oleh karena itu dibutuhkan adanya mekanisme transmisi kebijakan moneter beserta instrumen-instrumen yang digunakan. Terbentuknya sistem moneter syariah diharapkan menjadi solusi dari kegagalan yang diakibatkan oleh sistem moneter konvensional yang terpaku pada sistem bunga. Sistem bunga membawa kegiatan perekonomian dalam tindak spekulasi yang akan menghambat perekonomian sektor riil untuk berkembang dan akhirnya pertumbuhan ekonomi tidak berdiri dengan kuat atau rapuh meskipun angka pertumbuhan ekonomi tinggi. Asumsinya adalah dengan adanya kebijakan moneter syariah, kebijakan moneter
khususnya di Indonesia akan terbebas dari sistem bunga dan diharapkan dapat mencapai tujuan moneter yang lebih baik. Ini mengkhususkan dengan menggunakan mekanisme transmisi moneter jalur harga aset. Juga menggunakan jalur harga aset masih sedikit sekali dilakukan. Namun, terdapat studi mengenai bekerjanya transmisi moneter melalui saluran harga aset dilakukan oleh Idris dkk (2002). Mengatakan bahwa harga tanah dan properti sebetulnya merupakan indikator yang lebih baik untuk mengkaji saluran harga aset tersebut namun terbentur masalah data maka digunakanlah harga saham.
Kebijakan moneter melalui jalur harga aset adalah suatu kebijakan moneter yang juga akan mempengaruhi perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset finansial seperti obligasi dan harga saham, maupun aset fisik khususnya harga properti dan emas. Perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun besarnya investasi di pasar uang rupiah dan valuta asing akan berpengaruh pula terhadap volume dan harga obligasi, saham dan aset fisik tersebut, dan selanjutnya perkembangan tersebut akan berdampak pada berbagai aktivitas di sektor riil. Pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi akan mempengaruhi pula permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat output riil dan inflasi dalam ekonomi. (Warjiyo, 2004).
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia biasanya akan memainkan dan mengatur jumlah uang beredar untuk menstabilkan ekonomi moneter negara. Jumlah uang beredar yang stabil akan menekan tingginya angka inflasi. Uang yang beredar dalam suatu negara amat penting. Dalam arti luas, uang beredar adalah uang yang di dalamnya termasuk aset keuangan yang memenuhi fungsinya sebagai uang dengan tingkat likuiditas yang berbeda satu sama lain. Data terakhir pada tahun 2014 dari Bank Indonesia jumlah uang beredar (M2) mencapai Rp 4.170.731 miliar, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak Rp 3.730.197 miliar. Hal tersebut terjadi karena naik turunnya angka pelipat gandaan uang tidaklah bersifat konstan. Angka tersebut senantiasa berubah-ubah sejalan dengan pola interaksi antara otoritas, bank umum dan masyarakat. Dalam pengendalian mekanisme transmisi kebijakan moneter diperlukan instrumen – instrumen untuk mengatur jumlah uang yang beredar. Salah satunya dalam penelitian ini adalah dengan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT), dengan OPT sebagai instrumen moneter secara tidak langsung, dapat mempengaruhi sasaran operasionalnya yaitu suku bunga atau jumlah uang beredar secara lebih efektif. Dengan menggunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai instrumen moneter konvensional dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai instrumen moneter syariah.
Menurut Pohan (2008), menjaga kestabilan nilai uang ini bukanlah masalah yang sederhana, karena uang berkaitan erat dengan hampir seluruh aspek dalam perekonomian. Dan alasan ini pula, proses kebijakan moneter sampai menyentuh kepada sektor riil menjadi masalah yang sangat kompleks dan tidak mudah pula menjaga stabilitas harga pada kondisi inflasi yang aman. Proses ini kemudian lazim disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter, yang merupakan saluran penghubung kebijakan moneter ke perekonomian riil. Permasalahan mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter ini masih merupakan topik yang menarik dan menjadi perdebatan, baik di kalangan akademis maupun para praktisi seperti Taylor: 2000, Warjiyo dan Agung: 2002, Muelgini: 2004, Mishkin: 2004, Doni Satria dan Solikin M. Juhro:2011, serta Ascarya: 2012.
Referensi
Winarto, H., Poernomo, A., & Prabawa, A. (2021). Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. J-MAS (Jurnal Manajemen dan Sains), 6(1), 34-42.
Salim, J. F. (2018). Pengaruh kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ekombis: Jurnal Fakultas Ekonomi, 3(2).
Andra, H. 2010. Analisis Pengaruh Instrumen Kebijakan Moneter Konvensional dan Instrumen Kebijakan Moneter Islam Terhadap Kinerja Bank Konvensional dan Bank Syariah. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Ascarya. 2005. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter: Seri kebanksentralan”. Jakarta: Bank Indonesia.
Ascarya. 2012. Buletin Ekonomi dan Perbankan: Alur Transmisi dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H