Kasus kebangkrutan BPRS Mojo Artho di Mojokerto menjadi salah satu peristiwa besar dalam sektor perbankan syariah pada awal 2024. Bank ini mengalami krisis finansial serius sehingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izinnya. OJK mengumumkan bahwa izin usaha BPRS Mojo Artho dicabut setelah bank tersebut gagal memperbaiki kondisi keuangannya, meskipun sudah ditempatkan dalam status Bank Dalam Penyehatan (BDP).
Dalam kasus kebangkrutan BPRS Mojo Artho, beberapa kaidah hukum dan norma hukum yang relevan dapat diidentifikasi berdasarkan prinsip-prinsip hukum perbankan syariah dan regulasi terkait yang berlaku di Indonesia:
1. Prudential dalam Pengelolaan PerbankanÂ
Menurut peraturan perbankan di Indonesia, baik syariah maupun konvensional, setiap bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian atau prudential principle. Prinsip ini menuntut bank untuk menjalankan manajemen risiko secara efektif guna menjaga stabilitas keuangan. Dalam kasus BPRS Mojo Artho, kegagalan dalam penerapan prinsip kehati-hatian ini menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kebangkrutan. Pasal 29 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatur bahwa bank harus menjaga likuiditas dan modal yang memadai untuk menghadapi risiko.
2. Perlindungan Nasabah
Sesuai dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), nasabah bank dijamin oleh LPS hingga batas tertentu jika bank tersebut mengalami kebangkrutan. Dalam konteks BPRS Mojo Artho, LPS mengambil alih bank dan bertanggung jawab untuk menjalankan proses likuidasi serta memastikan bahwa dana nasabah dijamin hingga Rp2 miliar per nasabah. Ini merupakan upaya perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah sesuai dengan regulasi yang berlaku.
3. Syariah dalam Perbankan
Sebagai lembaga keuangan syariah, BPRS Mojo Artho harus beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, termasuk keadilan, transparansi, dan bebas dari unsur riba. Namun, dalam kasus ini, pengelolaan yang tidak hati-hati dan gagal memenuhi prinsip tersebut menunjukkan adanya pelanggaran terhadap Fatwa DSN-MUI yang menjadi pedoman hukum bagi perbankan syariah. Pelanggaran terhadap kaidah ini juga bisa berdampak pada reputasi sektor perbankan syariah secara keseluruhan.
4. Penyelesaian Hukum oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
OJK memiliki kewenangan untuk mencabut izin usaha bank jika bank tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK telah melaksanakan wewenangnya untuk mencabut izin BPRS Mojo Artho setelah melihat ketidakmampuan bank dalam memperbaiki kinerja keuangannya.
Dalam kasus kebangkrutan BPRS Mojo Artho, beberapa aturan hukum yang relevan dari perundang-undangan di Indonesia dapat diidentifikasi sebagai landasan dalam penyelesaian kasus ini. Berikut adalah aturan-aturan hukum yang terkait:
- Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Aturan ini mengatur prinsip kehati-hatian (prudential principle).Â
- Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). UU ini mengatur perlindungan terhadap nasabah bank dengan menjamin simpanan nasabah hingga Rp2 miliar.Â
- Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).Â
- Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sebagai bank syariah, BPRS Mojo Artho harus beroperasi sesuai dengan fatwa-fatwa DSN-MUI yang mengatur berbagai transaksi syariah.Â
- Peraturan OJK tentang Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi Bank.
Â