Penembakan terhadap presiden Amerika Serikat selalu menjadi peristiwa yang mengejutkan bangsa dan mendorong refleksi mendalam tentang stabilitas politik dan keamanan negara. Sejak Abraham Lincoln ditembak pada tahun 1865 hingga insiden-insiden yang lebih baru, kekerasan terhadap pemimpin tertinggi Amerika telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah negara ini.
Abraham Lincoln, presiden ke-16, ditembak oleh John Wilkes Booth saat menonton sebuah pertunjukan teater. Pembunuhan ini terjadi pada akhir Perang Saudara Amerika dan memiliki dampak besar terhadap proses rekonstruksi negara yang hancur akibat perang.Â
Dua puluh tahun kemudian, James A. Garfield ditembak oleh Charles J. Guiteau, seorang penulis yang kecewa karena tidak mendapatkan jabatan politik yang diinginkannya. Garfield meninggal setelah menderita infeksi luka yang parah, menunjukkan betapa rentannya presiden terhadap serangan individu.
William McKinley, presiden ke-25, ditembak pada tahun 1901 oleh Leon Czolgosz, seorang anarkis yang marah dengan ketidakadilan sosial. Serangan ini mendorong upaya untuk meningkatkan keamanan presiden. Namun, insiden paling terkenal dalam sejarah penembakan presiden adalah pembunuhan John F. Kennedy pada tahun 1963 oleh Lee Harvey Oswald.Â
Dilihat dari sejarah jumlah presiden Amerika serikat  yang ditembak dalam sejarah sebanyak 12 presiden, termasuk yang terbaru yaitu Donald Trump, Mantan dan sekaligus calon Presiden Amrika Serikat yang ke 60.
Ketegangan antara partai politik, polarisasi masyarakat, dan peran media dalam memperburuk situasi
Ketegangan antara partai politik, polarisasi masyarakat, dan peran media dalam memperburuk situasi menciptakan kondisi yang semakin tidak stabil di Amerika Serikat. Persaingan sengit antar partai politik sering kali memicu perdebatan yang tajam dan kurang produktif, dengan masing-masing pihak lebih fokus pada memenangkan argumen daripada mencari solusi bersama.Â
Polarisasi ini memperlebar jurang pemisah antara kelompok-kelompok dengan pandangan politik yang berbeda, sering kali mengarah pada ketidakpercayaan dan ketegangan sosial.
Peran media dalam situasi ini juga signifikan. Media massa sering memanfaatkan ketegangan politik dan polarisasi untuk meningkatkan rating dan menarik perhatian publik. Pemberitaan yang cenderung sensasional dan bias dapat memperkuat pandangan ekstrem dan memperburuk konflik yang sudah ada.Â
Selain itu, media sosial mempercepat penyebaran informasi, baik yang benar maupun yang salah, sehingga memperparah polarisasi dengan menyebarkan kebencian dan disinformasi.