Mohon tunggu...
Muhammad Ishmarakan
Muhammad Ishmarakan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Sriwijaya

Hobi saya bermain game, mendengarkan musik, nonton film, dan sesekali membaca sejarah. Jadi mungkin itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Suriah di Timur Tengah: Dampaknya terhadap Geopolitik Dunia

5 Desember 2024   21:28 Diperbarui: 5 Desember 2024   21:28 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Timur Tengah merupakan salah satu kawasan yang memiliki banyak sekali konflik. Salah satunya yaitu Perang Sipil di Suriah, yang merupakan salah satu konflik yang masih berlangsung hingga saat ini. Krisis Suriah merupakan salah satu konflik paling kompleks dan berkepanjangan di abad ke-21. Konflik ini sudah berlangsung cukup lama, bermula pada tahun 2011 yang diakibatkan adanya gelombang protes damai dari masyarakat Suriah untuk melawan rezim pemerintah saat itu, yaitu Presiden Bashar al-Assad yang pada prosesnya menciptakan konflik yang sangat struktural dan penuh dengan kompleksitas. Seiring berjalannya waktu, perang ini berkembang menjadi perang multidimensi yang melibatkan berbagai kelompok pemberontakan, negara-negara regional, dan kekuatan global dalam memperebutkan pengaruh. Krisis ini tidak hanya menimbulkan bencana kemanusiaan tetapi krisis ini telah mengubah peta geopolitik di dunia. Untuk itu, perlu adanya pemahamam mengenai dampak krisis Suriah  terhadap geopolitik di dunia.

Konflik yang melanda Suriah dapat dilihat sebagai salah satu akibat dari gelombang Arab Spring yang dimulai pada tahun 2010 dari Tunisia yang kemudian menyebar ke kawasan Timur Tengah. Berbeda dengan yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah, konflik di Suriah relatif lebih lama dan masih berlangsung sampai saat ini. Transisi kepemimpinan dari Hafez Al-Assad ke Bashar Al-Assad pada tahun 2000 sempat memunculkan harapan akan perubahan politik (Maupin, 2016). Di bawah kepemimpinan Bashar, perekonomian Suriah sempat mencatat kemajuan signifikan, termasuk kemampuan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Namun, korupsi yang mengakar di kalangan elit politik dan dampak kekeringan ekstrem sejak 2006 memicu frustrasi Masyarakat yang akhirnya mendorong tuntutan adanya perubahan (Ahmad, 2015). Merosotnya kondisi ekonomi di Suriah memicu frustrasi di tengah masyarakat,. 

Hal ini diperparah oleh kurangnya upaya Presiden Assad dalam menangani dampak bencana tersebut. Puncak kemarahan rakyat dimulai dengan aksi bakar diri Hasan Ali Akleh pada 26 Januari 2011 yang terinspirasi dari kasus pembakaran diri di Tunisia, terinspirasi dari peristiwa serupa di Tunisia. Ketegangan memuncak pada 6 Maret 2011 di Kota Deraa, saat orang tua memprotes penahanan dan penyiksaan terhadap 15 anak yang ditangkap karena membuat grafiti bertuliskan As-Shaab Yoreed Eskaat el Nizam (Rakyat ingin menumbangkan rezim). Pada akhirnya pada tanggal 15 Maret 2011, masyarakat melakukan demonstrasi damai yang ditujukan sebagai bentuk protes dari respon repersif pemerintah yang melakukan kekerasan terhadap anak-anak dan menuntut adanya reformasi kebijakan. Dari protes ini lah kemudian berubah menjadi Perang Saudara di Suriah. Konflik ini juga menyebabkan permusuhan antara kaum Sunni dan kaum Syiah karena sebagian besar penduduk Suriah penganut Sunni, sedangkan Rezim Bashar al-Assad menganut Syiah.

Selama terjadinya konflik, Masyarakat membentuk kelompok pemberontak yang bernama Free Syrian Army (FSA), yang kemudian seiring berjalannya waktu, FSA terpecah menjadi banyak faksi yang seringkali bersaing satu sama lain. Kemudia munculah 2 kubu sebagai ujung tombak dalam melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Suriah yakni Faylaq Al-Rahman dan Jaish Al-Islam. Awalnya 2 kubu ini berada dalam satu legiun yang bernama Al-Rahman Legion, tetapi dikarenakan memiliki cara pandang yang berbeda dan memiliki kekuatan dan basis militer yang sama (Ghouti Timur), akhirnya kedua kelompok ini melakukan perebutan kekuasaan sehingga melemahkan perlawanan terhadap pemerintah Suriah. Ada juga kelompok seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Hizbullah, serta Suriah Democratic Front (SDF) yang melakukan perlawan terhadap rezim Bashar al-Assad. Pada yang saat yang sama, muncul kelompok The Islamic State of Iraq (ISI) yang kemudian bakal bertransformasi menjadi The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dikemudian hari. ISI yang mencapai puncak kejayaannya setelah menguasai Sebagian wilayah Iraq kemudian melihat konflik Suriah sebagai kesempatan untuk memperkuat pengaruhnya dalam mencapai visinya. Suku Kurdi juga memberikan kontribusinya dalam melawan Rezim Bashar al-Assad melalui SDF serta melakukan afiliasi dengan ISI.

Akibat dari konflik yang berkepanjangan, kemudian membuat banyak aktor negara regional untuk mengintervensi konflik di Suriah. Iran yang menganut Syiah memberikan dukungannya terhadap Pemerintah Bashar al-Assad dikarenakan memiliki kesamaan yakni penganut Syiah. Tentunya dengan terjadinya konflik antar Sunni dengan Syiah, Iran membutuhkan bantuan dan dukungan dari negara ataupun pihak yang menganut Syiah. Iran memandang Suriah sebagai bagian penting dalam "poros resistensi" (Iran, Suriah, Hizbullah, dan milisi Syiah lainnya) melawan pengaruh AS, Israel, dan sekutu Sunni seperti Arab Saudi. Iran khawatir jatuhnya rezim Assad dapat mengakibatkan kekacauan lebih luas di kawasan, termasuk kebangkitan kelompok ekstremis Sunni seperti ISIS, yang mengancam keamanan domestik dan regional Iran. Dukungan Iran mencakup bantuan militer, ekonomi, logistik, serta mobilisasi milisi sekutu seperti Hizbullah untuk mendukung Assad di medan perang. Dalam merespon konflik ini, kemudian negara-negara penganut Sunni mulai memberikan dukungan dan bantuannya untuk kaum pemberontak Suriah, seperti Arab Saudi, Qatar, dan Turki. 

Arab Saudi dan Qatar memberikan dukungnya untuk Pemberontak Suriah untuk melakukan perlawanan terhadap kaum Syiah. Kedua negara ini menginginkan perubahan rezim di Suriah, mengganti pemerintahan sekuler yang dipimpin oleh keluarga Assad dengan pemerintahan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam yang mereka anut. Mereka berharap bahwa dengan mendukung pemberontak, mereka dapat mencegah terjadinya perang saudara yang lebih besar dan berkepanjangan di Suriah serta membawa stabilitas regional. Untuk kasus Turki yang memberikan dukungannya untuk pemberontak Suriah selain persamaan penganut Sunni, itu dikarenakan untuk mencegah terbentuknya wilayah otonomi Suku Kurdi di utara Suriah oleh kelompok YPG (Yekneyn Parastina Gel/Unit Perlindungan Rakyat Kurdi). Turki menganggap YPG sebagai perpanjangan PKK (Partai Pekerja Kurdistan), yang telah lama berkonflik dengan pemerintah Turki. Turki tidak mau pembentukan wilayah otonomi itu terjadi karena dapat berdampak terhadap stabilitas di Turki. Dukungan Turki meliputi bantuan logistik, persenjataan, dan perlindungan di wilayah perbatasan, termasuk menyediakan pangkalan untuk oposisi Suriah dan operasi militer untuk menciptakan zona pengaruh di Suriah utara. (Stiftung Wissenschaft und Politik)

Melihat berbagai negara regional mulai memberikan dukungannya terhadap konflik suriah, membuat negara-negara besar untuk ikut memberikan perhatian terhadap konflik ini. Amerika Serikat dan Rusia menjadi negara super power yang memberikan dukungan dan bantuannya kepada kubu-kubu di Suriah. Rusia memilih untuk memberikan dukungannya kepada Pemerintahan Bashar al-Assad. Rusia mengklaim bahwa mendukung Assad adalah langkah untuk memerangi terorisme, terutama dari kelompok seperti ISIS, yang juga dapat berdampak pada keamanan domestik Rusia, terutama di wilayah seperti Kaukasus (Core). Selain itu Suriah juga telah lama menjalin hubungan erat dengan Rusia yang dimulai sejak masa Uni Soviet. Rusia percaya bahwa memberikan dukungan kepada Assad memastikan kelangsungan aliansi ini dan mencegah pergantian rezim yang mungkin mendukung Barat. Hal ini dilakukan Rusia untuk menentang intervensi dari Barat serta menunjukkan kekuatannya sebagai pemain global yang relevan, sekaligus mengimbangi pengaruh AS dan sekutunya di Timur Tengah. Dukungan Rusia meliputi intervensi militer langsung sejak 2015, termasuk serangan udara terhadap pemberontak dan dukungan logistik serta diplomatik di PBB untuk mencegah sanksi terhadap Assad. Dukungan ini juga memperkuat hubungan ekonomi dan militer antara Rusia dan Suriah. 

Amerika Serikat sendiri memilih menduku pemberontak Suriah. Hal ini didorong untuk melawan Rusia dan Iran sebagai aktor utama kaum Syiah dalam perebutan pengaruh geopolitik di Kawasan Timur Tengah. AS melihat Bashar al-Assad sebagai diktator represif yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia. Dukungan kepada pemberontak ditujukan untuk menggulingkan Assad dan mendorong perubahan menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Meskipun awalnya AS mendukung pemberontak untuk menggulingkan Assad, fokusnya bergeser ke memerangi kelompok ekstremis seperti ISIS. Beberapa kelompok pemberontak yang didukung AS juga terlibat dalam melawan ISIS. AS khawatir konflik yang berlarut-larut di Suriah dapat memicu instabilitas lebih luas di Timur Tengah. Dukungan AS meliputi pelatihan, persenjataan, dan pendanaan kepada beberapa kelompok pemberontak, serta serangan udara terhadap pasukan Assad dan ISIS di beberapa wilayah strategis. Namun, kebijakan ini sering dikritik karena fragmentasi oposisi dan risiko senjata jatuh ke tangan kelompok ekstremis.

Konflik di Suriah telah menimbulkan dampak yang sangat besar dalam berbagai aspek. Secara kemanusiaan, lebih dari 500.000 orang dilaporkan tewas, jutaan lainnya terluka, dan sekitar 12 juta warga kehilangan tempat tinggal, baik sebagai pengungsi di luar negeri maupun pengungsi internal. Dari segi ekonomi, infrastruktur negara hancur akibat pertempuran, menyebabkan runtuhnya aktivitas ekonomi dan membuat sebagian besar penduduk hidup dalam kemiskinan. Konflik ini juga meningkatkan ketegangan di Timur Tengah, dengan keterlibatan negara-negara seperti Turki, Iran, dan Rusia yang memiliki kepentingan geopolitik di wilayah tersebut. Secara global, krisis ini memicu gelombang pengungsi yang signifikan, memberikan tekanan besar pada negara-negara tetangga Suriah dan kawasan Eropa. Dari sisi keamanan, konflik ini memfasilitasi munculnya kelompok teroris seperti ISIS, yang memperburuk stabilitas regional dan meningkatkan ancaman terorisme global. Dampak ini menegaskan betapa kompleks dan meluasnya efek dari konflik Suriah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun