Dengan makin dekatnya Pemilu, makin banyak saja orang menjajakan diri untuk dipilih jadi anggota DPR/D atau Presiden. Berhasilkah mereka? Jawabannya, lihat dulu berapa besar mereka punya popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas.
Faktor popularitas (terkenal), akseptabilitas (diterima) dan elektabilitas (dipilih) adalah modal amat sangat penting calon dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Sekalipun berdiri sendiri, ketiga faktor itu terintegrasi jadi satu urutan gradasi nan tak terpisahkan. Itulah yang harus diraih para calon. Bila tidak, tak bakalan mereka merasakan empuknya kursi DPR Senayan atau Istana Merdeka. Itulah proses yang tak boleh ditawar sepeserpun.
Popularitas adalah suatu fenomena sosial tentang persepsi kolektifmasyarakat, yang menentukan siapa yang paling banyak dikenal orang. Melalui berbagai sarana, seseorang bisa meraih popularitas, baik cepat atau lambat. Semakin banyak dikenal, semakin popular namanya.
Ada 2 macam popularitas,sosiometrik dan perceived. Popularitas sosiometrik muncul dari daya tarik individu, yang disukai karena berbagai sifat baiknya. Misalnya, karena dia memiliki kemampuan personal, memiliki empati dan sering membantu orang lain. Si A populer karena berhasil mengatasi banjir musiman dan jalanan yang macet kronis. Popularitas perceivedhanya menggambarkanketerkenalan individu tanpa memiliki korelasi positif dengan sifat baik sepertihalnya sociometrik. Individu dengan popularitas perceived memang terkenal, tapijarang disukai karena reputasinya. Misalnya, si B popular karena ditangkap KPK akibat korupsi triyunan rupiah. Popularitas datang dari mana saja. Dari tokoh masyarakat, pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, budaya, hiburan dan lainnya. Seorang penyanyi dikenal popular karena sering tampil di muka umum. Terlepas apakah ngomong benar atau ngawur, seorang politikus bisa terkenal karena sering numpang nampang talkshow di TV. Secara sosiologis,popularitas ditekankan pada aspek recognition (pengenalan). Bisa dikenal baik atau buruk. Secara psikologis, tidak ada ikatan emosional antara pemilih pemilu dengan tokoh popular itu. Bagi mereka yang meraih popularitassosiometrik, harus rajin menjual nama dan prestasinya kepada masyarakat. Sedang untuk yang popular secara perceived, harap mundur saja dari pada isi kantongnya terkuras ludes tak bersisa.
Setelah popularitas sosiometrik, tahap berikutnya yang harus diraih adalah akseptabilitas.. Dalam tahap akseptabilitas, pemilih menilai cocok tidaknya calon jadi anggota legislatif atau presiden. Banyak aspek yang dinilai. Diantaranya adalah kualitas, kompetensi, integritas, profesionalitas, personalitas, perilaku, prestasi, reputasi, kepemimpinan, visi dan lain-lain. Proses penilaian melahirkan penerimaan (akseptabilitas) pemilih terhadap calon. Karena begitu banyaknya aspek yang dipertimbangkan, maka pada hakekatnya prosedur menilai dan menerima itu adalah proses berfikir para pemilih. Proses akseptabilitas memerlukan waktu lebih lama dibandingkan popularitas dan akseptabilitas. Secara keseluruhan, tahap akseptabilitas menjadi moment crucial (paling penting) bagi kesuksesan calon. Disinilah nasib calon dipertaruhkan, berhasil atau gigit jari. Pada tahap ini pemilih mulai berfikir, siapa calon yang akan dielus. Agar berhasil melewatinya, calon harus berjuang ekstra keras.
Setelah melewati tahap popularitas dan akseptabilitas yang menguras banyak tenaga, biaya dan pikiran, kini tibalah saat yang ditunggu-tunggu sekaligus menggoncang jantung, yaitu hari pencoblosan. Saat masuk bilik suara, pemilih sudah mantap nama/foto siapa yang akan dicoblos. Elektabilitas dibilik suara yang berlangsung sesaat itu, merupakan hasil akhirdari proses panjang akseptabilitas. Ada korelasi positif antara tingkat akseptabilitas dan elektabilitas.
Berikut, adalah hasil studi menarik yang dilakukan Barna Research Group for Election 2012 di Amerika. Grup ini melakukan survey untuk mengetahui faktor elektabilitas apa saja yang mempengaruhi voters (pemilih) mencoblos candidates (calon). Yang paling tinggi prosentasenya adalahisu politik yang digulirkan calon, yaitu sebanyak 83%dari kemungkinan pemilih. Urutan berikutnya adalah karakter(51%). Seterusnya disusul faktor lain seperti afiliasi partai politik calon (17%); pengalaman politik (16%); agama calon (14%); latar belakang pendidikan (6%); kemampuan berbicara (3%); kepribadian (2%); usia (1%); dan penampilan fisik (kurang dari 1%). Survey ini menjelaskan kemenangan Obama sebagai incumbent. Sebagian besar voters memilih Obama karena kepincut program kesehatan dan kebijakan pajaknya.
Sisi menarik yang patut diulas dari hasil survey ini adalah penempatan isu politik/program calon sebagai determinan utama elektabilitas. Ini menunjukan tingginya kesadaran masyarakat Amerika dalam berpolitik. Mereka memandang Pemilu sebagai instrument penting demokrasi. Mereka memanfaatkan Pemilu dengan baikuntuk memperbaiki nasib bangsa. Karena itu mereka memilih Presiden mumpuni dengan visi jauh kedepan. Tidak satupun dari mereka yang melirik politik pencitraan. Dalam kompetisi, para capres menjunjung tinggi norma, etika dan sportifitas. Begitu indahnya ketika melihat mereka berangkulan. Yang kalah memberi selamat yang menang.
Semua hal yang diterangkan diatas itu hanya berlaku untuk pemilih obyektif, bukan pemilih subyektif. Pemilih subyektif tidak ambil pusing akan kualitas, apalagi visi/misi calon. Secara emosional, mereka memilih calon berdasarkan ikatan-ikatan primordialisme. Tergantung ikatannya, bisa kenceng atau kendor. Pada ikatan yang kendor inilah biasanya politik uang bermain.
Kita semua faham bagaimana kinerja DPR sekarang. Menghadapi Pileg 2014, tersisa satu pertanyaan. Bisakah kita memperoleh wakil rakyat yang bagus?Jawabnya tergantung. Bila masih muka-muka lama yang mendominir anggota DPR mendatang, nampaknya rakyat jangan terlalu banyak berharap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H