Kejaksaan Agung menyebut kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah mencapai Rp271 triliun.
Kerugian perekonomian itu terkait dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan di kawasan hutan dan non-hutan. Akan tetapi, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, meminta Kejaksaan Agung agar melengkapi kajiannya tentang kerugian perekonomian negara dalam kasus penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah. Sebab hitungan kerugian perekonomian negara yang disebut mencapai Rp271 triliun belum sepenuhnya tuntas. Menurutnya, kerugian perekonomian negara berupa kerusakan lingkungan tak hanya terjadi di kawasan hutan dan non-hutan. Tapi juga, di wilayah pesisir dan laut.
Kejaksaan Agung mencatat bahwa bekas area tambang tidak dipulihkan, meninggalkan lubang-lubang besar yang berbahaya, dan ini telah menyebabkan korban jiwa, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Sebanyak 15 orang tewas akibat tenggelam di lubang bekas tambang, dan banyak lainnya terpapar risiko kesehatan, seperti penyakit yang disebabkan oleh air berbahaya dari lubang-lubang tersebut.
Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Bangka Belitung mengkritik hitungan Kejaksaan Agung yang belum mencakup kerugian di wilayah pesisir dan laut. Menurut mereka, lanskap Bangka Belitung terdiri dari daratan dan lautan yang tidak bisa dipisahkan. Aktivitas penambangan telah menyebar ke laut karena lahan darat yang sudah habis. Kapal-kapal ponton yang digunakan untuk penambangan timah ilegal merusak lingkungan laut, termasuk menghancurkan terumbu karang, mencemari air, dan mengurangi hasil tangkapan nelayan. Walhi juga mencatat bahwa banyak perusahaan, baik yang memiliki izin maupun yang tidak, gagal melakukan reklamasi atau pemulihan lingkungan, menyebabkan terjadinya deforestasi besar-besaran di kawasan hutan.
Dari total luas Bangka Belitung sekitar 1,6 juta hektare, lebih dari satu juta hektare telah menjadi area tambang, dengan hampir setengahnya dikelola oleh PT Timah, sementara sisanya dipegang oleh ratusan perusahaan lain. Lubang tambang yang tidak direklamasi tercatat mencapai 12.607 lubang, setara dengan 15.579 hektare. Akibat dari lubang-lubang ini, sebanyak 21 kasus tenggelam dilaporkan, dengan 15 orang meninggal dunia, termasuk 12 anak-anak berusia antara 7 hingga 20 tahun.
Kerusakan tidak hanya terjadi di darat, tetapi juga di wilayah pesisir dan laut. Aktivitas penambangan timah telah menyebabkan rusaknya ribuan hektare terumbu karang. Pada tahun 2015, luas terumbu karang di Bangka Belitung mencapai 82.259 hektare, tetapi pada tahun 2017, angka ini menurun drastis menjadi 12.474 hektare, dengan 5.270 hektare yang mati. Limbah tambang berupa pasir dan oli dibuang ke laut, menyebabkan polusi yang merusak ekosistem pesisir, termasuk terumbu karang. Limbah ini bahkan bisa menyebar hingga 6-7 mil dari lokasi tambang, memperluas dampak kerusakan lingkungan.
Selain itu, penambangan di laut juga menyebabkan konflik dengan nelayan setempat. Hasil tangkapan mereka semakin menurun karena pencemaran laut, dan ini memperburuk kondisi ekonomi masyarakat pesisir yang bergantung pada laut. Bahkan, ada dugaan bahwa hasil tambang timah ilegal ditampung oleh smelter-smelter ilegal, sehingga menambah kompleksitas masalah aliran hasil tambang ini di pasar.
Lebih jauh lagi, kerusakan lingkungan akibat penambangan timah juga memicu bencana alam dan masalah kesehatan. Pada tahun 2023, wilayah Bangka Belitung mengalami krisis air bersih karena sumber air utama telah tercemar atau kering akibat kerusakan lingkungan. Masyarakat terpaksa menggunakan air dari lubang-lubang tambang yang kualitasnya berbahaya. Di sisi lain, lubang-lubang tambang yang dibiarkan terbuka juga menjadi tempat berkembangnya nyamuk, yang meningkatkan risiko penyakit menular. Ada pula klaim bahwa radiasi di area-area tambang cukup tinggi, yang berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Imbas lainnya adalah meningkatnya konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya buaya. Dalam kurun waktu 2021 hingga 2023, tercatat 25 kasus serangan buaya terhadap manusia, dengan 14 orang meninggal dan 12 lainnya luka-luka. Hal ini dipicu oleh pergeseran habitat buaya akibat kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh penambangan timah di wilayah pesisir dan sungai-sungai tempat buaya hidup.
Secara keseluruhan, artikel ini menyoroti dampak besar dan menyeluruh dari penambangan timah ilegal di Bangka Belitung. Kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya menghancurkan ekosistem darat dan laut, tetapi juga menyebabkan korban jiwa, kerugian ekonomi, serta krisis sosial dan lingkungan yang meluas.