Pesta demokrasi tahun 2019 telah selesai dilaksanakan, Cooling Down dan rekonsiliasi sepertinya juga sedang diusahakan. Babak baru politik nasional mulai masuk beralih kepada bagi-bagi posisi. dan sampai lah saat ini berlangsung drama pemimpin oposisi merapat pada koalisi. Segala macam fenomena politik yang terjadi belakangan ini seperti tak henti-hentinya memberikan kejutan pada publik yang setia mengikuti.
Bagi saya pribadi, yang usai belum tentu benar-benar usai. Walaupun gelanggang pertarungan dan kontestasi langsung untuk kekuasaan utama telah ditutup. Segala ceritanya belum tentu rampung untuk dicermati. kontestasi politik yang berjalan keras dengan segala konfrontasinya kemarin, membuat saya merasakan 2 hal.
Hal pertama yang saya rasakan adalah merasa takjub dengan reformasi. Rasa takjub ini tumbuh karena saya menyaksikan segala macam elemen masyarakat plus dengan polarisasinya dapat mengekspresikan sikap dan pendapat politik mereka. Ada yang membangun ekspresi politik melalui bangunan argumentasi yang berlandaskan itelektualitas akademik, argumentasi kepercayaan dan agama, arguemntasi kesukuan hingga argumentasi kebencian dan hinaan. Semua itu berserakan melalui banyak media, baik fisik maupun virtual. Baik langsung, maupun tak langsung.
Perasaan kedua yang menghinggapi adalah kengerian dan skeptisme. Perasaan ini muncul seiring dengan munculnya pengamatan konfrontasi politik ternyata terjadi pada setiap lini masyarakat. Mulai dari akar rumput hingga tataran elit. derasnya arus ekspresi dan argumentasi sikap politik yang mengalir dan kerasnya kontestasi politik di level elit ternyata tidak linear dengan kedewasaan serta pemahaman etika politik yang ada pada setiap elemen masyarakat negara ini.
UUITE dan pasal penghinaan menjelma menjadi bedil ampuh dan "sakti" sekaligus dengan prediket pasal karetnya, dalam banyak kasus sebagai penentuan kebenaran. Rasanya takperlu dituliskan lagi  soal apa-apa saja kasus penangkapan yang terjadi dengan bedil UUITE dan penghinaan. Cukup berselancar di Internet dan semua berita akan tersedia. Kejadian-kejadian ini memunculkan pertanyaan yang saya yakini tidak hanya muncul dibenak sendiri, tapi juga muncul dibenak kebanyakan masyarakat yang berfikir. Apa benar kita masih terbangun dalam masa reformasi yang menjanjikan kebebasan berfikir dan berekspresi? Atau seperti ini lah memang bentuk perkembangan pemerintahan yang dibawa oleh reformasi? Atau mungkin masyarakat yang gagal paham tentang hakikat reformasi?
Dua perasaan tersebut membuat saya seperti ingin meninjau ulang si-reformasi ini. Agenda politik yang menjadi tuntutan utama setelah 32 tahun terbelenggu orde baru. Apalagi jejak orde baru dengan slogan "piye, sik penak jamanku toh?" masih berseliweran dan semangatnya masih dilanjutkan oleh beberapa partai yang menjadi peserta pemilihan umum. Jangan sampai segala distraksi politik tersebut membuat kita lupa dan gasgal memahami agenda Reformasi yang telah berjalan selama kurang lenih 22 tahun, yang disebut juga oleh beberapa pakar politik prosesnya seperti mangkrak ataupun jalan ditempat.
Agar tidak alpa melulu memahami reformasi, mari kita mulai diskusi kita tentang hakikat reformasi. :
Hakikat reformasi yang pertama adalah proses Desakralisasi kekuasaan. Â Pasalnya, pada orede baru, kekuasaan seringkali dianggap sesuatu yang sakral, hal ini mengakibatkan kekuasaan menjadi tabu untuk mendapat kritik. logika sakralitas kekuasaan ini seperti proses ritus keagamaan dimana setiap aturan dan prosesnya dipandang suci dan tanpa cacat sehingga tidak memiliki ruang untuk dikritisi. Bagaimanapun juga kekuasaan demokratis merupakan legitimasi yang diberikan oleh rakyat dan dijalankan oleh rakyat. Tidak mungkin sesuatu yang dirancang dan dijalankan oleh manusia seutuhnya menjadi sempurna. Agenda reformasi yang telah berlangsung harusnya dapat menjadikan kekuasaan sebagai sebuah sistem yang terbuka terhadap kritik dengan memodifikasi nilai sakralitas yang melekat agar kekuasan tidak dipandang sebagai sesuatu yang tabu untuk dibahas diruang publik. Hingga saat ini kita dapat menilai bersama setiap warga negara punya opini pribadinya terhadap jalannya kekuasaan dan dapat mengekspresikannya tanpa merasa akan berdosa.
Sakralitas kekuasaan ternyata dibarengi juga dengan mitologisasi pembangunan. Karena itu Reformasi juga mempunyai kewajiban untuk melakukan Demitologisasi Pembangunan. Sebelum reformasi pembangunan dipresepsikan sebagai proses yang mutlak membawa kebaikan. Hasilnya setiap pembangunan yang dicanangkan dan dijalankan oleh pemerintah selalu dinanti dan didukungan masyarakat. Aspek-aspek lain seperti tidak dihiraukan untuk proses pembangunan yang sudah dipresepsikan sebagai jalan yang paling baik untuk perkembangan peradaban. Tugas Reformasi disini adalah membuat masyarakat melek, bahwa pembangunan bukan sebuah keniscayaan yang membawa perubahan baik. Masyarakat juga harus memainkan peran dalam menimbang aspek lain dari pembangunan dengan menanggalkan kacamata kudanya untuk melihat pembangunan lebih luas.
Hakikat reformasi yang ketiga adalah mendefinisikan ulang hak dan kewajiban rakyat. Setelah reformasi, pekikan tentang HAM yang diteriakan masyarakat menjadi lebih lantang. Hal ini mencerminkan ketakutan masyarakat untuk kembali kedalam keadaan serba dibatasi hak-haknya. Untuk para generasi yang belum punya banyak pengalaman hidup pada masa sebelum reformasi tentu tidak begitu paham sensasi menjalani hidup dalam keadaan "bebas tapi tidak bebas". Akan tetapi bukan berarti tidak ada cara untuk memahaminya. Masih banyak text tertulis dan juga cerita-cerita yang dapat didengar langsung soal terbatasnya hak-hak masyarakat, apa lagi hak politik. Seperti sulitnya untuk melakukan perkumpulan ataupun diskusi karena sering dicurigai sebagai perkumpulan terlarang yang melakukan aktifitas terlarang. Sederhananhya seperti itu. Kewajiban redefinisi hak ini tentu akan menambah dan memperjelas hak-hak rakyat dan menguatkan penerapannya.
Proses reformasi yang berjalan juga mempengaruhi penafsiran sejarah kolektif. Sebabnya, selama 32 tahun. Diskursus sejarah seperti tanpa perkembang dan hanya berputar-putar dalam penafisran sejarah super subjektif yang dikontrol pemerintah, agendanya adalah membangun kepercayaan yang mengakar pada masyarakat bahwa presiden adalah penyelamat negara dari kudeta PKI pada tahun 1965-1967. Penafsiran, anasir dan sudut pandang lain tentu tidak mendapat ruang. Setelah reformasi sudah seharusnya terjadi Reinterpertasi sejarah, agar bangsa dapat dengan jernih melihat perjalanan bangsanya dengan baik.