Di era yang serba digital ini, media adalah panggung utama bagi segala sandiwara politik. Di saat-saat yang krusial ini, ketika masyarakat menebak-nebak bagaimana ending dari suatu persoalan besar, tiba-tiba saja perhatian mereka teralihkan oleh "plot alternatif" yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya. Memang tidak dibutuhkan, namun biasanya mayoritas orang sulit untuk menolak informasi skandal atau cerita sensasional. Itulah yang sering kita lihat di Indonesia. Komunikasi politik menjadi semacam seni pertunjukan, di mana isu-isu besar bisa tenggelam hanya karena satu atau dua berita viral. Tahun 2024 adalah bukti nyata, dengan berbagai kasus pengalihan isu yang membuat banyak pihak, terlebih lagi kita sebagai masyarakat bertanya-tanya: siapa sebenarnya sutradara di balik layar? Seberapa besar pengaruh media dalam membentuk opini publik, dan apa dampaknya terhadap demokrasi kita?
Tahun 2024 di Indonesia bisa dibilang sebagai tahun di mana politik dan media bersatu dalam sebuah drama yang huru-hara, dan plot twist yang tak berkesudahan. Di tengah perdebatan tentang kebijakan-kebijakan besar seperti kenaikan PPN 12%, munculnya isu-isu sensasional yang entah itu datang dari publik bahkan kasus hukum yang tak kalah heboh, seolah-olah mengalihkan perhatian kita dari persoalan utama yang seharusnya mata kita tidak berpaling ke arah lain. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, media, baik itu tradisional maupun digital, memegang peran kunci dalam membentuk cara kita melihat realitas politik. Isu yang kita anggap paling penting bisa dengan mudah digeser, tergantikan oleh cerita yang lebih "clickable" dan mengundang perhatian, meski seringkali mengaburkan esensi dari masalah yang sebenarnya.
Media massa; baik televisi, koran, hingga media sosial, berfungsi layaknya panggung besar tempat segala isu untuk menampilkan segalanya. Meskipun, tidak semua isu mendapat sorotan yang sama. Ada saat di mana media seolah-olah memilih satu isu tertentu yang rasanya terlalu receh untuk dibesar-besarkan sebagai cerita utama dalam sebuah pertunjukan, sementara isu yang memiliki tingkat fokus yang lebih besar disimpan rapi di balik layar. Fenomena ini disebut pengalihan isu, dan Indonesia sudah tidak asing lagi dengan strategi ini.
Respon dan opini publik terhadap pengalihan isu oleh media di tahun 2024 ini mencerminkan masyarakat yang semakin kritis, namun tetap terjebak dalam berita harian yang menutupi sebuah artefak dibalik kaca transparan. Di satu sisi, banyak warganet yang melontarkan sindiran tajam terhadap media dan pihak-pihak berkepentingan, menyebut pengalihan isu sebagai "trik lama yang dikemas ulang." Media sosial menjadi arena utama, di mana meme, thread, dan video komentar bermunculan untuk menyoroti ironi serta paradoks dari isu-isu yang dianggap direkayasa. Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat terlihat apatis, memilih untuk menerima apa yang disajikan tanpa banyak pertanyaan, mungkin karena sudah terlalu lelah dengan arus informasi yang tak kunjung berhenti. Respons ini menunjukkan bagaimana masyarakat berada di persimpangan antara upaya untuk memahami realitas yang lebih kompleks dan kebutuhan untuk bertahan di tengah derasnya informasi yang kadang menyesatkan.
Di tengah persiapan pemilu pilpres 2024, tak ada angin, tak ada hujan, media kembali menggali cerita lama: kasus Vina Cirebon, seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan hingga merenggut nyawa pada tahun 2016 silam. Entah kenapa, dari sekian banyak kasus baru yang bermunculan, isu ini kembali mencuat ketika laporan korupsi besar-besaran senilai Rp271 triliun mulai menjadi bahan pembicaraan. Secara tiba-tiba, perhatian masyarakat dialihkan dari dugaan penyalahgunaan dana publik ke cerita tragis yang cukup menyentuh hati ini.
Karena kasus ini kembali diangkat, persidangan pun dilanjutkan, sehingga media berbondong-bondong mencari potongan puzzle yang belum lengkap dari kasus ini. Netizen pun malah ikut terhanyut dalam kasus yang terasa berlarut-larut ini, memecah fokus pada sebuah isu penting tentang koruptor yang membeli keadilan di meja pengadilan. Tak disangka-sangka pula, salah satu production house film Indonesia malah ingin mengangkat kasus ini ke layar lebar, yang makin membuat warganet terdistraksi, dengan respon yang mengecam atas moralitas produser film tersebut, atau malah semakin bersimpati terhadap korban yang katanya masih sukar dalam mencari keadilan. Mereka lupa, realitas yang mereka jalani tepat di depan mata. Hingga saat saya mendengar kabar terakhir kali dalam kasus tidak masuk akal ini, kabarnya pelaku-pelaku dari tindakan keji ini tidak pernah ada, beristirahatlah dengan tenang Vina, media dan segala sandiwara ini telah mengganggu istirahatmu dan mengganggu berjalannya proses keadilan dalam kasus koruptor yang hukumannya tidak pernah setimpal.
Dalam teori Spiral of Silence, ada kecenderungan masyarakat untuk mengikuti opini yang dominan di media. Ketika media fokus pada kasus Vina, diskusi tentang korupsi yang nilainya fantastis itu menjadi terpinggirkan. Di satu sisi, perhatian terhadap kasus kekerasan adalah hal positif, tetapi di sisi lain, ini menciptakan ruang bagi pelaku korupsi untuk berlalu tanpa pengawasan ketat.
Belum selesai dengan kasus Vina Cirebon, selanjutnya media menggemparkan jagat Nusantara, tepatnya pada Agustus 2024, publik Indonesia dikejutkan oleh berita dugaan perselingkuhan Azizah Salsha, istri pesepak bola Pratama Arhan. Seluruh negeri, terutama jagat media sosial, heboh membahas drama ini. Namun, ada yang menarik: berita ini muncul bersamaan dengan social media campaign "peringatan darurat". Yang bermula dari adanya rencana revisi UU Pilkada yang melanggar konstitusi dan tidak sesuai dengan demokrasi Indonesia.
Karena masyarakat kini sudah lebih sadar dan lebih vokal untuk menyuarakan aspirasinya dalam dunia digital, penyebaran informasi untuk tidak terkecoh oleh pengalihan isu perselingkuhan yang cukup mengguncangkan negeri ini pada akhirnya lebih unggul dalam membangun narasi publik yang lebih penting untuk keberlanjutan bangsa ini. Di sisi lain, fokus masyarakat yang tidak terpecah ini menimbulkan akumulasi kekecewaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai semakin jauh dari prinsip demokrasi, transparansi, dan partisipasi, namun juga membawa persatuan yang indah untuk menegakkan demokrasi.
Demonstrasi yang digelar mahasiswa bersama berbagai elemen masyarakat disebut sebagai gerakan organik, lahir dari kejenuhan dan kemuakan terhadap praktik politik yang tidak demokratis, termasuk politik dinasti yang semakin mencolok. Meski revisi UU Pilkada akhirnya batal, Yance menyebut keberhasilan ini sebagai secercah harapan---kemenangan kecil di tengah tantangan besar menjaga keberlangsungan demokrasi. Ia mengingatkan, kepedulian masyarakat terhadap proses politik harus terus dijaga agar cita-cita demokrasi tidak hanya menjadi narasi kosong belaka.
Melalui teori Agenda-Setting, kita tahu bahwa media bisa menentukan isu mana yang dianggap penting oleh masyarakat. Dalam kasus ini, meskipun narasi soal pelanggaran konstitusi gagal tersisih oleh gosip selebriti, dan memang tingkat permasalahan yang tidak bisa disandingkan "Apple to Apple" antara integrasi bangsa dan integrasi rumah tangga pesepak bola Indonesia. Tetap saja bisa menjadi taktik picik untuk menyembunyikan bangkai di dalam dapur, sehingga menghancurkan selera makan. Alias bisa mengaburkan fokus kita pada hal yang memang lebih krusial untuk dikawal.