Antara Tugas Negara dan Problem Dapur
[caption id="attachment_71716" align="alignleft" width="270" caption="null"][/caption]
Membaca Harian Kompas (4/2) di halaman 5 yang ditulis oleh M Final Daeng tentang kehidupan prajurit, saya teringat kepada mertua yang juga berprofesi sama. Bapa sering dipanggil prajurit "jadul", sebagai panggilan kesayangan kami kepada beliau. Kalau sedang kumpul dengan seluruh anggota keluarga, Bapa selalu bercerita tentang kebanggaannya sebagai prajurit TNI. Bapa juga tidak pernah bosan bercerita tentang masa perjuangan, saat menjadi bagian dari pasukan Jendral Sudirman dan Jenderal Suharto lengkap dengan detail peperangan yang pernah dijalaninya.
Karena itu, apa pun yang dikatakan orang tentang Pak Harto, Bapa tetap haqul yakin he is the best general. Mungkin kekagumannya itu sudah masuk kategori fanatisme berlebihan. Betapa tidak ! Kalau bercerita tentang Pak Harto, Bapa selalu memegang kopel tentara yang "siap siaga" menghadang pikiran saya yang cenderung sinis dan bertolak belakang dengan kekagumannya terhadap Pa Harto.
Tapi Bapa tetap teguh dengan pendiriannya tentang Orba. Bapak selalu meyakinkan kepada kami bahwa  di jaman Orba lah Indonesia disegani oleh negara lain. Indonesia ditakuti karena memiliki prajurit yang berani dan disiplin. Itu lah yang sering diceritakan Bapa kepada anak, menantu dan cucu-cucunya ketika setiap Hari Raya berkumpul di rumahnya yang sederhana, hasil jerih payahnya bertahun-tahun sebagai prajurit TNI.
Kini cerita tentang heroisme prajurit sudah tidak terdengar lagi. Bapa wafat sekitar 5 tahun yang lalu dan kini jasadnya terkubur di TMP Cikutra Bandung. Kami sekeluarga jelas kehilangan, terutama cerita tentang kepahlawanan dan perjuangan prajurit TNI di medan peperangan.
Membaca tulisan Daeng di Harian Kompas mengingatkan saya ketika Bapa masih hidup. Saya mengenal Bapa lebih dekat ketika menikah dengan anak bungsunya. Walaupun komplek di mana Bapa tinggal sebagian besar adalah purnawirawan, namun semangat militer masih cukup kuat mewarnai kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah kepatuhan terhadap perintah negara. Walaupun kesulitan keuangan selalu mendera setiap hari, para pensiunan prajurit ini tetap disiplin membayar pajak setiap tahunnya. Jarang sekali mereka menunggak atau mengemplang.
Kepatuhan terhadap perintah negara sepertinya sudah menjadi harga mati. Di mana pun mereka ditugaskan atau medan peperangan seganas apa pun, mereka akan selalu patuh terhadap perintah. Â Bahkan nyawa sekalipun akan mereka berikan untuk kedaulatan negara, walaupun di saat yang sama anak dan istri justru harus menghadapi kerasnya kesulitan hidup sehari-hari. Sebagai prajurit, mereka tidak diperbolehkan mengeluh sedikit pun.
Begitu pula ketika berbagai media memberitakan skandal Bank Century lengkap dengan uang trilyunan rupiah. Atau berita tentang fasilitas menteri yang serba VVIP plus kendaraan yang juga serba wah. Dan, berita tentang anggota dewan yang tidak pernah puas dengan fasilitas yang sudah ada. Semua berita itu telah membuat rakyat marah dan hanya bisa mengelus dada. Prajurit adalah rakyat kecil juga, tapi yang membedakannya sebagai prajurit ia  tetap harus siap siaga, walaupun panglima besarnya sering mengeluh setiap ada demontrasi besar. Sungguh besar sumbangsih para prajurit terhadap negeri ini demi keberlangsungan para pemimpin negeri ini.
Namun alih-alih memperjuangkan kesejahteraan prajurit, malahan mereka disuruh menghadapi para demonstran yang acapkali mencaci-makinya dengan kata-kata yang kotor, bahkan tidak jarang melemparinya dengan berbagai barang. Para prajurit itu tidak diperbolehkan membalas sedikit pun, karena kalau itu dilakukan, maka hari itu juga mereka akan dituduh melanggar Hak Asasi Manusia. Mungkin hati mereka pedih mendapat perlakuan seperti itu, tapi bayangan anak dan istri yang menanti di rumah membuat mereka tetap harus bersabar. Para prajurit itu hanya berharap keluarganya dapat sedikit bernafas walaupun harus menerima caci maki sebagai ganjarannya.
Kadangkala pikiran usil saya muncul mempertanyakan sikap pemimpin negeri ini mengapa begitu teganya menyuruh para prajurit berhadapan dengan para demonstran ? Toh mereka pun tidak mungkin juga menjawab semua tuntutan para demonstran. Karena apa yang disuarakan oleh rakyat melalui para demonstran mungkin juga sama dengan kesulitan yang dihadapi oleh prajurit. Bukan kah mereka juga korban dari kebijakan yang dibuat oleh pemimpin bangsa ini. Mengapa para pemimpin bangsa ini terkesan menghindar kalau dihadapkan dengan para demonstran ?