Mohon tunggu...
Muhammad Hamzah
Muhammad Hamzah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar

Kajian IHSAAN | Madrasah Al-Imtiyaaz | Makassar English Plus (MEP) | Al-Markaz for Khudi Enlightening Studies (MAKES) | Pesantren Modern IMMIM | Aktivasi IKHLAS | Pelatihan Shalat | Kota Makassar, Sulawesi Selatan |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Adakah Hak Muslim untuk Tidak Patuh Kepada Pemerintahnya?

20 Juli 2012   06:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:46 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah Hak Muslim untuk Tidak Patuh Kepada Pemerintahnya?

Bila yang ditanyakan adalah adakah kewajiban muslim untuk patuh kepada pemerintahnya maka jawabannya adalah: ya, ada. Dalil umum hal ini terdapat pada Quran Surah 004 An-Nisa 59 yang menggambarkan perintah untuk taat patuh kepada Allah SWT, Rasulullah saw, dan ulil amr. Dalil khususnya ada pada kajian Al-Hadits. Terdapat beberapa hadits yang membicarakan perkara taat kepada pemerintah.

Lantas, kembali kepada pertanyaan pertama, adakah hak Muslim untuk tidak patuh terhadap pemerintahnya?

Jawaban penulis adalah: tidak tahu. Penulis tidak tahu berhak atau tidak Muslim membangkang pemerintah. Karena keterbatasan ilmu, penulis tidak mengetahui dalil Al-Quran maupun Al-Hadits yang menerangkan hak Muslim untuk tidak mematuhi keputusan pemerintah (muslim).

Yang penulis tahu adalah, terdapat sebuah "pedoman" umum soal ketaatan kepada sesama makhluk Allah SWT. "Pedoman" tersebut adalah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal ma'shiyat kepada Allah SWTلا طاعة لمخلوق في معصية الخالق. Pemahamannya, bila sebuah keputusan atau ketetapan pemerintah berada dalam konteks maksiat (membangkang perintah Allah SWT), maka tidak berlaku ketaatan atas keputusan atau perintah tersebut.

Mungkin kalimat terakhir di atas bisa disebut sebagai hak Muslim untuk tidak patuh kepada penguasa. Namun, penulis belum sepenuhnya yakin atas hal tersebut. Hanya saja, bila pembicaraan ini dibawa ke konteks penetapan/keputusan (bukan penggunaan metode menetapkan) soal kapan awal bulan Ramadhan, maka yang berlaku adalah kewajiban untuk mentaati pemerintah. Mengapa?

Keputusan tentang awal Ramadhan tidak berada dalam konteks ma'shiyat kepada Allah SWT. Lain halnya bila pemerintah (muslim) memutuskan bahwa ummat Islam dilarang berpuasa pada tanggal 17 Agustus, misalnya. Keputusan itu  jelas ma'shiyat kepada Allah SWT.

Akhir kata, mengikuti keputusan pemerintah tidaklah serta merta menjatuhkan harga diri seseorang atau sebuah organisasi kemasyarakatan. Menaati keputusan pemerintah yang bukan dalam konteks ma'shiyat kepada Allah SWT  justru menunjukkan kesediaan mengecilkan atau bahkan meniadakan ego gelar, pangkat, keilmuan, atau kebesaran nama organisasi betapapun besar atau kerasnya ketidaksetujuan mereka terhadap keputusan tersebut.

Lagi pula, bila kita kembali membaca Quran Surah 004 An-Nisa 59, maka akan kita temukan bahwa yang dipanggil untuk taat kepada ulil amr adalah orang-orang yang beriman saja, kok.

Salam Ramadhan 1433 H !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun