Mohon tunggu...
Ha Amzan
Ha Amzan Mohon Tunggu... -

move from oon to on-line

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untitle (Ic)

31 Oktober 2013   16:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:46 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang sore, dari balik kaca jendela restoran, aku melihat Siska keluar dari gedung Siska’s Film, lalu menyeberang jalan melewati mobil-mobil yang parkir di pinggir taman. Di taman tidak terlihat lagi anak-anak jalanan, tapi ada seorang pemuda berjaket hitam berdiri dibawah pepohonan. Ia membawa sebuah kantong belanja di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang handphone yang tersambung headset ke telinga. Sesekali ia memandang ke arahku, ke restoran.

Di dalam restoran tidak ada hal yang luar biasa. Sekelompok orang antri di depan counter pemesanan, pelayan-pelayan menyiapkan makanan pesanan, kasir sibuk dengan transaksipembelian, dan petugas kebersihan membereskan sisa-sisa makanan. Sementara pejabat dan wanita cantik itu, yang duduk selang satu meja depanku, terlihat seperti sepasang remaja; bisik-bisik dan sesekali terdengar cekikikan.

Tiba-tiba kenyataan berjalan begitu lambat, seolah-seolah semua gerakan tertangkap oleh mataku. Pemuda berjaket hitam menghilang di balik pepohonan, Siska tinggal beberapa meter lagi mencapai pintu restoran, dan beberapa orang lalu lalang di jalanan. Ketika dua orang muncul dari balik mobil, naluriku berkata: lakukan sesuatu! Dua gelas kosong kusambar dari sebuah meja, lalu lari ke pintu menyongsong Siska.

Kekacauan baru benar-benar terjadi ketika suara tembakan menggelegar seiring pecah kaca jendela. Dua orang terkapar di lantai, satu orang pejabat dan yang lain seorang wanita, disusul jeritan orang-orang panik di ruangan restoran. Siska terlihat berjongkok dan menundukkan dengan kedua tangan di atas kepala, satu meter di depan pintu. Aku menjatuhkan diri dan meluncur dengan pantat, kaki kuangkat menendang pintu. Gelas di tangan kanan kulempar tepat mengenai kepala seorang pria yang membawa senjata. Tidak memalukan untuk seorang mantan pemburu babi.

Dengan tangan kanan yang kosong kuraih tangan siska dan menariknya kedalam restoran. Suara tembakan terdengar lagi dan aku merasakan peluru melewati dua centi di atas kepala sebelum akhirnya memecahkan kaca pintu. Sungguh menggetarkan nyali. Satu lagi gelas ku lempar untuk mengalihkan perhatian, lalu kutarik tangan Siska mengajaknya lari lewat pintu belakang. Tapi kami tidak pernah menemukan pintu belakang.

Sekarang hanya ada dua pilihan: menunggu mati atau melawan nekad. Orang-orang bergeletak di lantai, ada yang mati tapi lebih banyak yang pura-pura mati. Di luar sudah bertambah lima orang pembunuh dengan pistol di tangan. Aku mengumpulkan gelas, piring, sendok, garpu, atau apapun yang bisa dibuat untuk melempar. Siska memegang erat tanganku. Aku merasa tangannya dingin, bergetar dan ia menangis.

“Apa yang akan kita lakukan?” Tanya Siska bergetar

“Menunggu,” balasku

“Menunggu mati?”

“Saat ini lebih banyak pilihan hidup ketimbang pilihan mati. Asal bisa mengulur waktu dan sedapat mungkin terhindar dari peluru, kita akan hidup”

“Seberapa besar harapan itu?”

“Hanya tuhan yang tahu.”

Deru motor dari kejauhan terdengar semakin mendekat. Aku berharap drama ini akan segera berakhir. Tapi ternyata tidak. Yang datang bukan yang di harapkan. Sekarang hanya tersedia satu jalan mundur: menyerang dari depan. Menyerang pembunuh-pembunuh bersenjata dengan sendok, piring, dan cangkir. Sungguh mengenaskan.

Siska memejamkan mata, mulutnya bergumam: “habislah...habislah....habislah..kita” Aku merangkulnya, memeluknya erat-erat, dan tiba-tiba aku merasakan aku benar-benar mencintai Siska, aku takut kehilangan dirinya. Aku membayang kisah dua sejoli di kampungku, Rozali dan Juleha, yang mati bunuh diri minum racun tikus. Tapi aku tidak ingin seperti mereka. Aku ingin menciptakan sejarah berbeda. Sejarah yang akan menginspirasikan novel-novel asmara, dongeng-dongeng sebelum tidur, atau mitos-mitos yang akan membentuk sekte-sekte baru. Ya, sejarah aku dan Siska. Aku ingin menciptakan sebuah ritual yang akan dikenang oleh generasi selanjutnya.

“Siska, bersediakah engkau menjadi isteriku?” aku memulai ritual itu.

“Tidak!” jawab Siska dengan sadis.

“Tidak?”

“Sudah lima tahun kita berteman, mengapa baru sekarang kata-kata ini keluar dari mulutmu? Mengapa? Mengapa disaat-saat kematian di depan mata? Aku benci kamu!”

Sebenarnya pertanyaan itu lebih bernada protes kepada Tuhan ketimbang ungkapan merajuk kepadaku. Aku terdiam membisu karena akupun punya pertanyaan “mengapa”. Mengapa cinta terlambat kusadari? Mengapa? (bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun