Biadab, Kejam, Penghianat, Ateis, Penjahat... Dst. Begitulah kira-kira ucapan yang keluar dari mulut beberapa pemirsa setelah menonton film G30S/Pe-Ka-I. Baik di ucapkan secara spontan dan terang-terangan, baik sementara film berlangsung maupun ketika filmnya telah selesai. Pokoknya banyak komentar. Kalah responya ibu-ibu saat menonton uttaran.
Ada juga yang saya dengar beberapa penonton yang berucap lewat bisik-bisik berisi bersama kawan. Tapi ini bukan bisik-bisik tetangga. Makanya saya sempat mendengarnya. Sebab, siapapun boleh mendengar ucapan atau bisik-bisik ini. Orde ter-baru tidak melarang. Setidaknya bisikan ini lebih mulia daripada bisikan setan. Yah to?
Menonton film ini, memang seketika mengajak kita semua untuk beberapa saat kembali kepada masa lalu. Walaupun generasi saat ini tidak benar-benar menjadi saksi sejarah atas peristiwa tersebut. Kecuali orang-orang yang lahir di awal tahun 50-an dan 60-an, itupun tinggal sedikit. Bisa di hitung jari. Yaa menggunakan semua jari tangan. Bukan hanya jari jempol atau tengah saja.
Namun, walau generasi saat ini (lagi tren di sebut generasi milenial) memang tidak merasakan secara langsung peristiwa '65. Tapi saya rasa pemuturan kembali film ini berhasil menghipnotis para pemirsanya, termasuk saya, seolah-olah atau seakan-akan kita menyaksikan langsung kejadian yang memilukan dimasa lalu itu. Namanya juga masa lalu. Banyak cerita yang memilukan. Apalagi masa lalu percintaanmu? Yakin saya, sama kelamnya dengan peristiwa '65. Peace
Ditambah lagi dengan berbagai macam aksi-aksi refleksi peristiwa '65 yang di lakukan beberapa organ kemahasiswaan. Semakin memperjelas rasa ketidakterimaan kita terhadap sejarah pilu bangsa ini. Alih-alih memberikan penyadaran dan pelurusan sejarah, yang ada malah menjadikan film sebagai satu-satunya rujukan referensi yang dianggap valid.
Di era yang serba canggih seperti sekarang ini, menjadikan masyarakat kita ketergantungan terhadap teknologi. Sementara pada saat yang bersamaan, kemajuan teknologi tidak selaras dengan minat membaca masyarakat kita. Menurut saya ini ada hubungannya dengan keberhasilan menarik banyak penonton film ini.
Kalau semuanya sudah instan, untuk apa capek-capek membaca, toh ada film yang bisa di lihat, Kan sama juga toh?. Kira-kira begitulah masyarakat kita. Lebih suka istri tetangga daripada istri dirumah, eh ini perumpaan saja. Istilah ekonominya itu konsumtif. Tidak mau berusaha sendiri, termasuk soal mencari dan mengklarifikasi informasi.
Sehingga saya sendiri tidak heran jika film ini kembali eksis. Walaupun ditahun-tahun sebelumnya sempat kalah bersaing dengan film thitanic. Tapi, berkat usaha dan kerja keras beberapa orang, Kini ia kembali merajai perfilman tanah air. Selamat akhi. Antum berhasil. Sukses
Tentunya saya tidak ingin suudzon, saya tetap akan berhusnudzon soal pemutaran kembali film ini. Moga-moga masyarakat kita dan juga kamu, saya juga, akan benar-benar melek soal sejarah. Sejarah yang tidak sepotong-potong. Apalagi yang hanya diperoleh dari facebook atau broadcast dari bbm, whatsapp dan sms. Karena ini sejarah, bukan kata-kata motivasi.
Maka sebaiknya jangan cuma habis dengan hanya menonton film itu saja. Jadilah penonton yang bijak sebagaimana kamu selalu bijak pada pasanganmu. Maksud saya? Seperti dulu kamu rajin stalking calon gebetanmu, sekarang ganti dengan stalking mengenai sejarah peristiwa '65 ini. Buka youtube, cari referensi di buku, browsing yang membahas soal itu. Supaya pengetahuanmu tidak hanya lewat film saja. Bukan apa-apa, itu film masih versi orde baru le. Saya Sedikit geli soalnya.
Sekarang, Ada banyak sekali informasi yang bisa dijadikan sebagai bahan refleksi mengenai peristiwa '65. Demokrasi kita sekarang ini memang sangat Kras-i. Patut di acungi jempol. Terbuka semuanya. Presiden saja punya akun medsos. Bisa curhat. Dulu? Tidak ada vroh. Barangkali kalau sosmed lahir sebelum 90-an pasti dilarang di indonesia. Alasannya sederhana, Karena sosmed tidak berideologi Pancasila. Masih Ingatkan penataran P-4? yupz, betul. Penyeragaman Ideologi.