Hari ini, selasa, dua empat desember nol dua, pukul tiga siang. Mungkin lebih. Seorang laki-laki, teman lama, mengajakku keluar. Duduk saling menatap di sebuah tenda di daerah Laowumaru. Aku inginkan mnuman botol dingin, ia pesan dua gelas martini. Untuk masa lalu, katanya.
Lalu ia cerita. Dari keramaian Jakarta hingga sunyi di Sumba. Kemegahan rumah langit di Tibet hingga permadani lembut Persia. Dari salju kecil di Istambul hingga barisan pinus di Siberia. Tak lupa menambah bumbu romatisme malam milik Roma.
Aku kagum tiap kisahnya. Laki-laki kecil berbaju seragam dua puluh tahun yang lalu, menumbuhkan rindu akan lirikan malu menatap wajah. Ada binar riang di mata, menikmati sentuhan kecil di ujung meja.
Terus ia cerita. Basa basi awalnya hingga impian yang seakan-akan mengejutkan. Katanya: ia telah melewati hari bertahun di tanah yang jauh. Ia telah berda pada negeri berkisah di negeri dongeng. Ia telah tidur di bawah langit ditempat-tempat yang memukau. Tapi ia rindu gadis dimana ibunya dilahirkan. Pada gadis berambut sebahu yang selalu mengisi mimpi-mimpinya sejak kanak. Kenangan yang bawa ke arahku.
Saat mengalun Yokyakarta, ia berikan sebuah kalung berlian.
Kekasihku, berlian itu menyilaukan. Beberapa menit aku lupa kamu. Ia memujiku setinggi langit, sesuatu yang mahal engkau berikan.  Ia beri aku hangat lebih dari dingin bisu milikmu. Ia bawa aku terbang. Mengangkatku putri  bidadari. Menjadikan aku seorang perempuan sebenarnya.
Kekasihku, aku mencintaimu sebesarnya, tapi izinkan  aku melupakanmu sesaat....
Gunungsitoli, Â 24 desember 2002
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H