Editor : @erdidik
"Nomor HP kamu berapa, Wa?"
"Ini Pak," kuberikan kartu identitas lengkapku. "Namaku Dwi, biasa dipanggil 'Wi', bukan 'Wa', Pak. Hehehe..."
"Oh iya, hahaha... Maaf salah manggil, nanti saya telepon ya."
Allahu Akbar Allahu Akbar...
Lantunan Azan subuh berkumandang membangunkan aku dari mimpi panjang yang sangat nyata. Gigil subuh, mengajak diri untuh kembali utuh dengan membasuh muka dan berangkat sujud kepada Ilahi. Seandainya, aku punya kuasa untuk menyambung mimpi, aku akan melanjutkannya. Sungguh. Dan sebangunku yang masih dalam ambang kesadaran, aku mengira-ngira setelah itu apa yang terjadi ya.
Bulan keenam usai kejadian itu-saat di mana aku diam-diam menatap punggungmu dibalik rasa takut dan malu-ada kejadian yang tak terlupakan.
Hari itu tidak ada yang spesial. Hanya aku yang harus bergegas berangkat ke kantor karena tumpukan kerja yang belum kuselesaikan. Selain itu, ada jadwal kunjungan ke perusahaan yang paling aku benci. Dengan sebab aku benci, maka tentu ada alasanya. Ya, alasannya adalah aku kecewa karena kala itu aku ditugaskan untuk mengecek surat tawaran kerjasama dengan perusahaan lain yang sudah dari sebulan lalu aku tunggu-yang akhirnya tidak membuahkan hasil.
"Manajemen yang tidak becus!" keluhku dalam hati. "Kantor ini sangat besar, karyawannya ramai, belum lagi suasana kerja yang sangat nyaman dengan ruang-ruang yang ber-AC. Tidak ada yang kurang, namun mengapa lelet sekali pelayanannya!"
Dengan gontai aku melangkah kaki pergi. Terseret-seret kakiku dengan begitu malasnya aku masuk lagi dalam ruangan ini-suatu saat nanti. Apalagi harus bertemu dengan bapak beruban itu yang kata-katanya banyak menyimpan alasan entah: bapak masih diluar kota, Dik. Belum di-ACC, dan belum ada kabar lagi.
Tanpa memperdulikan dia, kubalikkan badan berniat lenggang pergi dari hadapannya. DEG... jantungku seakan berhenti berdetak. "Dia... lelaki dalam mimpiku tadi malam," gumamku dalam hati.