“Apa yang salah dengan cinta kita
Sehingga kita tak boleh bersama
Apa yang salah dengan cinta kita
Sehingga kita tak bisa bersama
Bukankah Tuhan yang mencitpakan cinta
Dan kita hanya menerimanya
Bukankah Tuhan yang menciptakan cinta
Dan kita hanya menjalankannya.”
Petikan dialog di atas menjadi pembuka sebuah dilematika cinta yang dialami oleh sepasang kekasih yang berbeda keyakinan. Mereka berusaha mati-matian untuk menjaga rasa dan cinta yang telah lama menjadi taman di dadanya. Namun, ketika berhadapan dengan orang tua yang teguh pendiriannya seketika rasa dan cinta mereka buyar seperti buih ombak diterpa angin. Sebuah layar yang telah dibangun di antara terpaan badai runtuh menjadi kepingan benang tanpa kelindan.
Siapa yang tidak pernah merasakan cinta, jatuh cinta bahkan mendapatkan kejayaan oleh cinta dan juga sebaliknya. Tidak terhitung berapa banyak penyair, ilmuan, cendekiawan, bahkan orang biasa-biasa saja yang telah mendefinisikan cinta di dunia ini. Lihat saja Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran, Shakespeare, bahkan sastrawan Indonesia yang juga tidak terhitung jumlahnya dalam mendefinisikan cinta. Bahkan dalam sebuah film pun ada saja ungkapan yang mengartikan sebuah cinta. Seperti Nattu yang mengatakan bahwa “Cinta hanya mendatangkan musibah, mulai dari Farhad, Qois (Majnun), dan Romeo.”