Ada saatnya ketika cinta tidak lagi menjadi inti dari sebuah rindu dan kerinduan dalam sebuah keluarga. Tetapi, wajah mungil yang selalu menjadi bayang-bayang rindu dalam setiap doa dan asa. Sebuah tangis dan tangisan terkadang menjadi lagu yang tak pernah habis liriknya. Ia menderu bagai angin senja. Membawa resah pada setitik malam yang bisu.
Ketika tangis selalu menjadi mimpi. Selalu menjadi ruang dalam sebuah keluarga yang tak pernah berhenti merindukan tangisan itu. Maka tak heran jika tangis dan tangisan selalu menjadi lagu rindu yang seakan datang dari surga.
Adakah yang tak ingin dan menginginkan tangis itu pecah bagai kepingan doa pada tengah malam. Adakah yang tak ingin mendengar tangisan sendu itu pada pagi saat matahari menenuntaskan gamangnya pada fajar. Adakah tangisan itu ada dan akan selalu ada? Siapa yang menangis, siapa yang ditangisi dan siapa yang menunggu tangisan itu?
Seperti halnya suaminya, yaitu Saputra (Stevanus), ia juga menanam nanar di matanya. Menunggu sebuah tangis yang menurutnya lebih indah dari jenis lagu manapun. Ia berdialog dengan dirinya, bertanya tentang tangisan yang selalu ia tunggu. Namun tak kunjung juga datang.
Sebuah persoalan tangis yang seakan lebih dahsyat dari persoalan cinta begitu lembut mengalir dalam sebuah keluarga sederhana, yaitu Haniva dan Saputra. Sepasang suami istri itu begitu mendambakan tangisan yang tak lain tangisan seorang bayi mungil, yang matanya seakan menyimpan bulan pada keduanya. Mereka selalu berselisih bahkan bertengkar hanya karena sebuah tangis yang tak kunjung datang.
Pada saat persoalan tangis menjadi puncak emosi yang selalu dipendam, dua tetangga mereka (Inggrid dan Habil) mencoba memberi solusi yang menurut mereka lebih baik. Tapi bagi mereka solusi tersebut tidak akan pernah menyelesaikan masalah yang tengah menjadi badai dalam perahu yang tengah mengarungi bahtera itu. Sebab, mereka yakin bahwa dengan cinta dan doa tangis itu pasti datang.
Namun, apakah tangis itu benar-benar datang? Hingga ruang itu redup, tangis itu hanya menjadi bayang-bayang. Ia hanya menjadi nyanyian yang membuat Saputra selalu marah akan nyanyian itu.
Pertengkaran seakan bumbu kecil yang sengaja mereka nyalakan hingga menjadi bara yang puncaknya adalah sebuah sandiwara kecil, tetapi berdampak besar. Haniva, membuat sandiwara baru dengan pura-pura hamil ketika ibu mertuanya meneleponnya. Hal itu membuat Saputra marah sebab, baginya hal tersebut adalah sandiwara kosong yang melibatkannya tanpa bisa memilih peran. Haniva bukan tidak punya alasan atas sandiwara itu. Ia berhak membela dirinya sebagai perempuan meskipun harus membuat sandiwara baru yang membuat suaminya marah besar.
Pentas tersebut membawa penonton pada sebuah ingatan dan harapan akan sebuah tangis. Dialog yang mereka sampaikan yang kadang disampaikan dengan sebuah lirik juga membawa penonton pada orgasme mimpi pada siang itu. Suara merdu biola pun menjadi bumbu pentas tersebut.