Mohon tunggu...
MH Kholis
MH Kholis Mohon Tunggu... Pegiat Sastra -

petualang, pegiat sastra, juga pencinta kopi. twitter: @mhkholis, Fb: MH Kholis. ig: @mhkholis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Penjual Kenangan

30 Mei 2017   12:32 Diperbarui: 16 September 2017   07:01 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Aku meraung dalam dada. Berteriak pada waktu agar ayah segera pulang entah dari mana. Mataku sembab dan dadaku rengkah. Aku tidak tahu benar atau tidak yang aku alami beberapa detik lalu. Aku hanya merasakan dadaku semakin terjejali oleh estafet kata yang sangat baru di telingaku. Kata-kata itu jauh dan terlalu jauh dari perilaku dan sifat ayahku. Aku tahu ayahku seorang lelaki yang baik, setia pada janji dan pada dirinya juga pada istrinya, ibuku. Tapi jika benar perkataan lelaki tadi, ah! Apakah mungkin?! Apakah mungkin?! Itulah yang selalu muncul dari dadaku yang mulai letih. Hingga mataku mulai nanar aku melihat bayangan tubuh dari jauh yang sangat kukenal. Ia terseyum dan tertawa seperti biasa sebelum kakinya menyapa dan manyapu halaman rumah. Tetapi, aku tidak menyambutnya dengan senyum seperti biasanya.

            “Ayah. Ayah kenal dengan Pak Muharam di kampung lembah?” secepat kilat ayah memutar pandangannya padaku. Aku melihat rasa terkejut dan terkinjat pada mata dan wajahnya. Ia mencoba menyembunyikan semua yang telah aku lihat dan menghampiriku. “Biru, ayah tidak pernah mengenal nama itu. Di kampung lembah tidak ada nama itu.” Aku melihat getaran pada bibirnya ketika mengeluarkan dan menyusun kata-kata itu. “Bohong! Ayah bohong, kan?! Ayah telah menipu Biru selama ini.” Hanya itu yang sanggup keluar dari tenggorokanku yang mulai tersedak oleh kekesalan dan penyesalan. “Biru, dengarkan ayah dulu, ayah…” aku berlari ke kamar sebelum ayah menyelesaikan perkataannya. Ia berusaha mengetuk pintu dan bersuara dengan halus seperti biasanya, tetapi aku sudah tidak peduli. Aku menggertaknya, mengahrdiknya dari balik pintu kamarku hingga aku terjatuh dan mataku menjadi lautan yang tak pernah kuharapkan.

***

            Aku masih sedu-sedan dengan sisa kemarahan dan kegelesihan di kamarku sejak siang jelang sore tadi. Kulihat di luar sudah sepi dan ayah sudah beranjak entah ke sawah atau tempat lainnya. Aku sudah tidak peduli. Ia yang selama hidupku telah kuhormati sesuai namaku telah membuat celah yang kemudian menjadi genangan luka di dada. Aku terus-menerus menghardiknya hingga malam menenun sepi dan heningnya.

            Aku memutuskan pergi dan hengkang dari rumah yang selama hidup menjadi lumbung dan lambung kenangan. Kenangan tentang ibu yang tak pernah kulihat wajah aslinya. Aku hanya melihat sebuah album foto yang disimpan ayah dan diberikannya padaku. Tapi aku akan membuagnya, sebab dalam foto itu selalu bersama ayah. Ayah yang membesarkanku dengan kasih sayang, namun di baliknya tersimpan bara napsu serakah yang tidak pernah kusadari. Atau aku merobeknya satu-persatu dan mengambil wajah ibu dalam foto itu. Ayah. Kau bukan lagi ayahku. Kau hanya kenangan yang akan aku gadaikan bahkan akan kujual pada waktu. Birlah kau hidup dengan waktu yang akan mengutuk dan menguburmu. Aku pergi dan aku hengkang dari rumahku sendiri tepat pada kokok ayam pertama. Aku berjalan gontai sembari membuang perlahan setiap kenangan di rumah itu. Biarlah kubuang atau kujual kenangan ini pada waktu.

***

            Kampung itu tiba-tiba geger. Biru, seorang gadis baik dan cantik tiba-tiba menghilang dari rumahnya begitu saja. Semua mencari dan menaruh kasih padanya yang telah pergi. Semua orang mengutuk peristiwa itu karena Biru adalah satu-satunya gadis yang paling baik di kampungnya. Kampung Sungai Lingga. Ketika tahu penyebab kepergiannya, mereka menghardik dan mengutuk Anwar, ayah Biru yang selama ini dianggapnya baik. Mereka mengadilinya dengan mengikatnya pada pohon jati di tepi sungai berhari-hari lamanya. Ada yang menyakini bahwa Biru bukan pergi dari rumah tetapi dijadikan tumbal selanjutnya setelah ibunya. Tetapi masyarakat kampung sudah terlanjur marah hingga tidak ada ampun bagi Anwar, yang telah membuatnya pergi dan hilang dari kampungnya.

            Biru, gadis lugu, cantik dan baik telah membuang dan menjual segala kepahitan yang menjadi kenangan selama hidupnya. Ia memasrahkan diri pada waktu. Tanpa tujuan ia terus berjalan hingga kenangan itu benar-benar menjadi kenangan.

Jakarta, 101016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun