Kemudian Telapak bekerja sama dengan lembaga donor asing, yang mengkhususkan diri pada peningkatan pengelolaan hutan secara lestari, mengembangkan program sertifikasi FSC pada produk kayu koperasi yang didampingi Telapak. Tahapan awal beberapa anggota Telapak di Sulawesi Tenggara merintis kerja di kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.  Para petani untuk membangun sistem dan melakukan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat. Telapak melibatkan 46 desa untuk membentuk kelompok tani di bawah badan hukum Koperasi. Mereka memilih perwakilan untuk berkumpul sebagai anggota pendiri koperasi. Koperasi tersebut berdiri  pada  tahun  2003  yaitu  Koperasi  Hutan Jaya  Lestari  disingkat  KHJL. Â
Pada  tahun  2005 Telapak  melalui  KHJL  berhasil  mendapatkan  Sertifikat   Forest  Steward  Council  Forest Management (FSC-FM). Melalui strategi sertifikasi kayu ini, Telapak dapat membantu para petani menjual kayu bersertifikat mereka kepada industri furniture yang produk furniture tersebut di jual ke Eropa dan Negara Amerika Serikat dengan harga meningkat beberapa kali lipat dibanding harga jual kayu non-sertifikat.  Sejak saat itu, banyak  petani mulai ikut serta dan perlahan tapi pasti, aktivitas illegal  logging menurun drastis, karena petani pergi bergabung dengan koperasi (KHJL). Ini menjadi prototipe Telapak yang kemudian direplikasi di beberapa tempat di Indonesia. Telapak telah membangun sistem yang sama di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur).
Siklus ini menjadi strategy pada perkumpulan Telapak yang telah berdiri sejak 1997. yang terjadi adalah:
- Pada saat di bawah garis masa investasi, Perkumpulan Telapak masuk pada era Enggage and experiment, masa-masa membangun konstituen dan mencoba berbagai metode dalam rangka membuat Telapak eksis.
- Create Value, Melalui proses transition of growth, yaitu : pada saat Telapak melakukan kampanye tentang Illegal Logging di media nasional.
- Create value and impact, kampanye illegal logging memberikan dampak pada kebijakan negara. kebijakan negara ini termaktub dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Liar.
- Social  Entrepreneur  (2006), Telapak  melihat bahwa berapapun dana yang dikeluarkan untuk kampnye dan investigasi tidak merubah pengelolaan sumberdaya alam utamanya kehutanan yang lebih baik. Telapak merubah strategi menjadi social entrepeneur yaitu menangani masalah sosial di sekitar lahan kehutanan menjadi kesempatan bisnis. Telapak memulai dengan menghimpun petani yang sebagian besar pelaku ilegal logging dalam organisasi koperasi. koperasi yang di bangun secara bottom up, koperasi dibangun oleh keinginan dan dibiayai oleh masyarakatnya sendiri sebagai pendiri dan anggota koperasi.
Setelah semua bisnis itu dijalankan, Telapak kemudian menyadari bahwa menjalankan bisnis itu tidak semudah memulainya. Telapak menyadari bahwa mereka membutuhkan profesionalisme bisnis dalam menjaga profitabilitas bisnis. Bertahun-tahun Telapak memiliki  pola pikir aktivis NGO, yaitu advokasi, menyelesaikan masalah sosial bersama  masyarakat dan yang terpenting sangat bergantung pada lembaga donor. Sekarang Telapak menjalankan bisnis ini, perlu mencari pasar dan menjaga arus kas bukan dari lembaga donor, tetapi Telapak  tidak memiliki sumber daya manusia yang mampu menjalankan bisnis. Telapak melakukan semua aktivitas bisnis dalam rantai nilai (SIPOC = Pemasok, Input, Proses, Output, Pelanggan). Misalnya, ketika mereka menjalankan usaha di bidang industri ikan hias bersertifikat, Telapak melakukan semua kegiatan usaha, mulai dari pengadaan ikan, mencari pasar luar negeri sebagai pelanggan, mengemas produk, hingga mendistribusikan produk ke pelanggan. Telapak pada waktu itu, tidak mau bekerja sama dengan eksportir ikan hias yang sudah ada. Hal yang sama juga, Telapak lakukan dalam bisnis kayu bersertifikat. Karena keterampilan bisnis dan sumber daya yang terbatas, Telapak tidak dapat menjalankan bisnis secara profesional dan mulai kehilangan pelanggan karena ketidakmampuan untuk mengelola sisi pasokan agar sesuai dengan permintaan dalam skala yang besar. Selain itu, pendekatan ini menimbulkan biaya tinggi bagi organisasi.
Bisnis berbasis masyarakat kehutanan yang dilakukan oleh perkumpulan Telapak menghadapi tantangan terutama :
- Tergantung pada donor hibah luar negeri.
- Tidak ada exit strategy dan kurangnya kemampuan untuk mendapatkan sumber dana donor lain.
- Bisnis di masyarakat masih terlalu kecil untuk beroperasi secara otonom.
- Harga sertifikasi yang relatif mahal untuk skala koperasi, dalam skala operasi dan produksi masih kecil dan kemampuan  sumber daya yang terbatas untuk secara aktif menjangkau pasar dan modal.
- Tidak fokus,  melakukan  hampir  semua  hal  dalam  Rantai  Nilai  dan  tidak  terbuka  untuk kepemilikan.
- Bekerja dari Pemasok, Input, Proses, Output, hingga Pelanggan (SIPOC),
- Ada  egoisme,  bekerja  sendiri,  Tidak  ada  kemitraan yang dalam dan jujur serta tidak melibatkan tenaga profesional untuk menjalankan perusahaan.
- Operasional manajemen produk yang konvensional dan tidak efisien.
- Proses pencatatan inventaris produk dengan menggunakan pena dan kertas yang lambat dan mahal, Perencanaan dan pengoperasian manajemen yang tidak optimal serta database yang ketinggalan zaman untuk menentukan Jatah Tebang Tahunan (JTT).
Setelah melalui krisis ini, membuat yang baru memikirkan kembali dan mendesain ulang model bisnis yang akan di jalankan. Telapak kemudian memutuskan untuk hanya fokus pada bisnis kayu bersertifikat. Telapak hanya mengambil bagian di sisi Pasokan dan Masukan dari rantai nilai. Telapak memutuskan untuk fokus mencari dukungan (finansial dan non finansial) untuk mendanai sertifikasi pengelolaan hutan lestari, yaitu sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council). Telapak juga berkonsentrasi pada pengembangan kapasitas (keterampilan dan pengetahuan) para petani dan peningkatan kualitas produk bersertifikat yang dihasilkan anggota koperasi. Telapak kini bekerja sama dengan pembeli atau eksportir yang sudah memiliki teknologi untuk mengubah kayu menjadi produk  lain, seperti  furnitur atau panel kayu, serta  pasar untuk kayu mereka. Dengan cara ini mereka dapat menghemat biaya pemasaran dan produksi. Telapak membantu petani untuk mendapatkan sertifikasi FSC setiap lima tahun. Telapak membutuhkan dana yang besar untuk membayar biaya proses evaluasi FSC. Artinya Telapak perlu memastikan kontinuitas dana untuk upaya ini. Untuk keperluan audit, Telapak harus menyediakan data yang akurat terkait dengan pendokumentasian pohon, seperti diameter, tinggi, dan lokasi masing-masing  pohon,  dll. Telapak  harus  melakukannya  secara  manual  yang  memakan banyak waktu,  biaya  dan  tenaga.  Seperti  yang  telah disebutkan sebelumnya, Telapak telah mendirikan beberapa koperasi di beberapa tempat yang mendapatkan sertifikasi FSC dan masih dalam proses sertifikas. Karena tidak mudah menyediakan dana untuk semua koperasi, maka banyak koperasi yang tidak aktif. Kini tinggal tersisa dua koperasi, yang berlokasi di Sulawesi Tenggara dan DI Yogyakarta.Â
Para pengurus kantor pusat Telapak di Bogor sangat memikirkan strategi yang akan dilakukan pada masa depan dan selalu mendiskusikan hal ini dengan banyak jaringannya. kemudian Telapak, bertemu dengan sekelompok profesional muda yang berpengalaman bisnis dan IT (Information and Technology). mereka juga menciptakan perangkat yang dapat merekam semua aspek yang dibutuhkan menggunakan system online. Hanya perlu satu petani untuk meletakkan perangkat di setiap  pohon  lalu  memindainya  menggunakan  ponsel  pintar  sederhana. Sistem ini membantu Telapak sehingga menghemat banyak dana. System ini dikembangkan dengan dana investasi dari kelompok Profesional muda bersama Telapak dan Koperasi KHJL (Koperasi Hutan Jaya Lestari). Dari pengalaman ini, Telapak,Koperasi KHJL (Koperasi Hutan Jaya Lestari dan kelompok profesional muda mendirikan bisnis baru, yaitu SOBI (Social Business Indonesia: http://sobi.co.id/ about/), sebuah Perseroan Terbatas Swasta yang mengkhususkan diri dalam penyediaan dana dan dukungan non finansial untuk mendapatkan sertifikasi FSC setiap lima tahun yang di audit setiap tahun, untuk beberapa koperasi sekaligus dan memasarkan kayu bersertifikat yang diproduksi oleh koperasi, dalam grup sertifikas FSC. PT SOBI dapat meningkatkan efisiensi dalam mengelola bisnis, karena mengajukan proses audit untuk beberapa koperasi di bawah pendampingan Telapak. Dengan demikian, setiap koperasi tidak perlu menyediakan dana untuk sertifikasi FSC. Jadi, fokus utama SOBI adalah di bidang memastikan sisi Pasokan dan distribusi dari rantai nilai.
Berdasarkan pengalaman Telapak selama ini, maka ada beberapa hal menjadi tantangan usaha berbasis masyarakat untuk keberlanjutan usaha. Tantangan-tantangan itu antara lain :
- Tidak ada atau terlambat membangun exit strategy. Kebanyakan usaha berbasis masyarakat yang dibiayai oleh dana hibah, tidak ada atau terlambat membangun exit strategy. Â Dana hibah membuat usaha-usaha ini terlena karena tekanan tidak seberat dana pinjaman bank atau dana pribadi. Hal tersebut menyebabkan, usaha-usaha berbasis rakyat tidak mampu melirik peluang-peluang pendanaan lain dan menyebabkan usahanya sangat tergantung pada dana hibah dan pada saatnya dana hibah selesai, usaha berbasis masyarakat itupun juga selesai.
- Terlalu kecil untuk beroperasi secara berkelanjutan. Banyak usaha berbasis masyarakat dibangun tanpa memperhitungkan skala ekonomi  dalam  beroperasi. Proyek  terlihat bagus, tetapi tidak bisa berkembang karena kalah bersaing akibat tidak ada posisi tawar karena terlalu kecil untuk mempengaruhi pasar. Skala yang terlalu kecil juga menyebabkan usaha berbasis masyarakat tidak mampu membayar biaya perijinan, standarisasi dan sertifikasi produk sehingga tidak bisa menjangkau pasar potensial.
- Tidak fokus dan kadang tergoda untuk mengerjakan semua. Dalam value chain business dikenal istilah SIPOC (Supplier, Input, Process, Output and Costumer), banyak usaha berbasis masyarakat melakukan semua proses ini, mulai dari pengelolaan komoditi, panen, Â proses, produk hingga marketing. Hal ini menyebabkan usaha berbasis masyarakat tidak bisa berkembang dengan baik, dan dalam banyak kasus terbengkalai.
- Metode management dan teknologi yang digunakan tidak efisien dan konvensional. Hal ini menyebabkan pengelolaan yang lambat dan sangat  mahal. Database, sistem keuangan, SDM dan marketing semuanya tidak terintegrasi sehingga tidak dapat berjalan dengan efisien.
Bisnis ModelÂ
Hasil analisis kesenjangan (gap analysis) diatas merujuk pada pentingnya penguatan-penguatan kelembagaan bisnis masyarakat untuk  merubah strategi dari bentuk usaha individual yang memiliki banyak kelemahan, menjadi bisnis kolektif sehingga dapat memperbaiki daya saing usaha dan kesejahteraan. Untuk dapat meningkatkan bargaining posisi petani produsen di pasar, maka bentuk kelembagaan bisnis harus mampu memfasilitasi hal-hal berikut:
- Fasilitasi kebutuhan-kebutuhan pengembangan usaha berupa permodalan, akses teknologi, dan kebutuhan lainnya;
- Membangun sekala ekonomis usaha yang mendorong efisiensi bisnis dan peningkatan daya saing;
- Meningkatkan keterampilan teknis dan manajemen;
- Pemasaran bersama termasuk keterbukaan informasi pasar;
- Mobilisasi  praktek  terbaik  (best  practices)  untuk  memenuhi  tuntutan  pasar  global  dan meningkatkan value produk yang dibuat;
- Sebagai  partner  pemerintah  (berperan  sebagai  think-thank)  pemerintah  lokal  dalam penciptaan factor enabler pengembangan ekonomi wilayah termasuk mendorong pemerintah memberikan kebijakan insentif untuk pembukaan usaha pengolah bahan baku, infrastruktur, dan sarana prasarana publik lainnya.
Beberapa pembelajaran dari bentuk kelembagaan bisnis yang telah berkembang perlu menjadi pertimbangan-pertimbangan  dalam membangun unit bisnis kolektif, seperti telah dijelaskan, catatan pembelajaran tersebut diantaranya:
- Koperasi dapat merupakan pilihan alternatif membangun usaha kolektif;
- Usaha kolektif dapat membangun konglomerasi bisnis sosial yang memberikan enabling factor untuk membangun ekosistem bisnis yang menguntungkan dalam jangka panjang. Ekosistem tersebut termasuk terbentuknya unit-unit usaha baru dalam bentuk industry hilir (on-farm)  yang  terintegrasi  dengan  industry  hulunya  (off  farm)  ataupun  jejaring  usaha baru;
- Usaha kolektif lebih memiliki ketahanan terhadap dinamika bisnis global;
- Usaha kolektif dapat memastikan supply bahan baku ke industry hilir yang Lestari;
- Usaha kolektif dapat memberikan subsidi pada usaha/industry baru (infant industry);
- Koperasi-koperasi dapat membentuk sebuah unit perusahaan (korporasi) yang professional;
- Diperlukan rasa memiliki dari masing-masing individu terhadap usaha kolektif tersebut;
- Perlu dibentuk kelembagaan yang professional untuk mengelola usaha kolektif tersebut;
- Lembaga usaha kolektif harus mampu memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan individu dalam menjalankan usahanya termasuk fasilitiasi teknis, dan non teknis.
- Lembaga usaha kolektif perlu membangun networking dengan pemerintah lokal sebagai partner (think-thank) dalam mendorong penyediaan faktor-faktor pemungkin (enabler factors)