Emak dan Bale-bale
Embun-embun belum menetes dan masih menggantung di ujung-ujung daun, cermin alam yang indah itu memantulkan cahaya bening bagai berlian. Sementara daun-daun kering jatuh terinjak hancur dan air-air sungai mengalunkan melodi pagi hari. Hoaaamm... baru saja kembali dari mati sesaatku, nyawa pun sepertinya belum terkumpul, tapi bunyi alarm alami sudah bangunkan tidur lelapku. Tidak jauh, tampak sawah-sawah terhampar luas di depan pandanganku, bagaikan permadani hijau yang sangat lebar, sementara aku memanjakan mataku dipagi hari dengan pemandangan indah ini. Tak bosan aku walau setiap hari bangun pagiku selalu seperti ini dan hatiku selalu sejuk, seperti pagi ini. Tak..tak..tak bunyi palu yang mengganggu imajinasi cerah pagiku, ternyata kakek sedang membangun istana untuk ayam-ayam peliharaannya, kulihat istana ayam yang lama sudah roboh tak terurus. “Ali, daripada hanya melihat, lebih baik bantu kakekmu sana!” tiba-tiba sosok separuh baya memerintahku, Emak. “Ali baru saja bangun Mak” sahutku dengan nada sedikit malas.
***
Pemandangan alam yang indah terhampar luas bagai samudra fasifik. Yaa.. aku tinggal jauh dari keramaian kota, tempat tinggalku dikelilingi bukit-bukit yang indah, permadani hijau alam terhampar luas. Aku tinggal dengan seorang kakek dan ibu, Emak biasa aku memanggilnya. Pendidikan aku sekarang sudah mencapai SMA dan tidak lama akan ada ujian nasional.
Lulus nanti, aku berencana melanjutkan ke perguruan tinggi di jakarta, namun Emak seperti keberatan karena mungkin akan merasa ditinggal olehku yang anak satu-satunya. Tetapi tekadku sudah bulat dan Emak pun tidak bisa menghalangi. “Apa Ali sudah pikirkan matang-matang ingin merantau ke Jakarta?” Emak bertanya dengan nada berat. “Biaya disana sangat mahal, belum lagi disana kamu mau tinggal dimana?” tanya Emak kedua kali sebelum aku menjawab tanya yang pertama. “Tekadku sudah bulat Mak, aku ingin kuliah di Jakarta, kelak aku ingin menjadi orang yang sukses dan masalah biaya aku akan sambil bekerja disana”. Jawabku meyakinkan hati Emak.
***
Akhirnya aku lulus dengan nilai sempurna dan aku pun diterima di Universitas Negeri di Jakarta. Di bale-bale teras rumahku, kembali Emak bertanya perihal niatku melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. “Ali, kalau tekadmu sudah bulat, dengan berat hati Emak lepas kamu untuk merantau ke Jakarta, Emak sudah siapkan uang seadanya untuk bekal hidupmu disana, uang itu hasil penjualan ladang sawah kakekmu, jadi jangan Ali sia-siakan ya?” jelas Emak padaku. “iya Mak, Ali tak akan sia-siakan uangnya, ini semua Ali lakukan untuk Emak dan kakek juga” jawabku. Besok aku sudah harus berangkat ke Jakarta dan hari ini aku persiapan untuk keberangkatan besok.
***
Senja-senja jingga pegunungan terpancar semburat matahari barat, sementara bulan sabit malu-malu muncul perlahan dengan senyum lebarnya. Tatap nanar memancar permadani kuning dan memori masa lalu melayang. Ingat aku ketika masa kecil bermain di pematang sawah milik kakek, saat itu aku dan Emak hendak mengantarkan makan siang untuk kakek, tiba-tiba aku terpeleset jatuh kedalam kubangan lumpur dan semua makanan yang aku bawa tumpah ruah, aku pikir Emak akan memarahiku tetapi Emak justru tersenyum dan segera mengangkatku dari kubangan lumpur. “Ali pikir ini lapangan bola, bisa lari-lari sembarangan” omel Emak tetapi lembut. Emak tidak pernah marah, sekalipun aku melakukan kesalahan berat, emak memang mengomel tapi omelannya tidak pernah menyakitkan hati selalu lembut dalam bertutur kata. Tetapi besok aku harus meninggalkan Emak dan kakek, sebenarnya berat bagiku meninggalkan mereka, tapi karena aku memiliki cita-cita dan ingin sekali membahagiakan mereka suatu saat nanti jadi aku lanjutkan tekadku ini.
***
Bale-bale
Diteras gubukku yang sederhana, terdapat bale-bale buah tangan kakeku. Di bale-bale ini tempat keluarga kecilku berkumpul, biasanya kami mengobrol tentang pertanian tetapi sesekali ditempat ini Emak banyak sekali memberi wejangan padaku, dan malam ini pun Emak siap memberi petuah-petuah nenek moyang yang masih berlaku untuk hidupku. Ditemani ubi rebus masakan Emak, aku pun asyik mengobrol dengan Emak, Emak berkisah saat masa-masa kecilku. “Ali ingat waktu pergi dari rumah karena marah tidak dibelikan sepeda?, waktu itu Ali iri sama teman-teman yang pergi ke sekolah dengan sepeda, sementara Ali jalan kaki, lalu Ali marah-marah karena Emak belum bisa belikan Ali sepeda”. Jelas Emak yang sedang berkisah masa kecilku. “iya Mak, Ali ingat waktu itu, Ali menginap dirumah teman selama tiga hari, sementara Emak mencari Ali kemana-mana”. Tanggapku pada Emak sambil tersenyum mengingat masa kecil. Bagiku bale-bale ini sangat berarti, disini aku sangat dekat dengan Emak. Tempat aku mendapat cahaya cinta dari Emak.
***
Nyanyian air-air sungai dan melodi kicau burung-burung menemani sejuknya bukit-bukit hutan pinus. Semburat matahari timur tembus kesela-sela kamar sempitku dan terbangun aku dari mimpi mayaku. Pagi ini aku bergegas merapihkan barang-barang bawaanku, pastinya dibantu Emak. “Jangan sampai ada yang tertinggal, coba ingat-ingat barang bawaannya!” Emak mengingatkanku. “Iya Mak, semua sudah selesai” jawabku sambil mengingat-ingat. “Ali, pesan Emak buat Ali selama merantau ‘jangan pernah melupakan kampung halaman, ingat dimana Ali dibesarkan dengan kasih sayang Emak’, jangan lupakan itu ya nak?!” wejangan Emak sebelum aku pergi. “Ali akan selalu ingat Mak, mohon doa dari Emak semoga langkah Ali menjadi tidak sia-sia” jawabku meyakinkan Emak. Dengan mata sedikit berbinar tiba-tiba Emak langsung memelukku, terasa kasih sayang yang tulus seorang Emak kepadaku. Akhirnya aku menitihkan air mata, setelah aku menahan sesak dada karena akan berpisah dengan Emak. “Emak akan selalu mendoakan Ali, hati-hati diperantauan ya nak” dengan nada berat Emak siap melepasku. Bale-bale menjadi saksi bisu saat Emak melepasku dengan berat demi cita-cita seorang anak. Aku tidak akan sia-siakan harapan Emak. Dan seorang kakek yang jarang bicara tiba-tiba memberiku petuah singkat namun sangat bermakna. “jangan lupakan tanah leluhurmu” bijak seorang kakek tua renta dengan tongkat keroposnya. Dan akhirnya aku melangkah menuju dunia baru, meninggalkan hijau permadani alam dan bau kesejukan bukit-bukit pinus. “Doakan Ali melawan dunia yang maya ya Mak, kek” harapku dalam hati ketika aku meninggalkan Emak dan kakek.
***
Tiga tahun kemudian,
Tiga tahun di Jakarta, hidupku penuh perjuangan. Doa Emak selama ini tidak sia-sia, dengan perjuanganku, aku berhasil menyelesaikan pendidikan S1 dibidang Seni dan Budaya. Satu hal yang membuatku sedih adalah ketika wisuda, Emak tidak bisa hadir karena sakit, semenjak kakek meninggal dunia, Emak tinggal sendiri dan mungkin terbebani mengurus lahan sawah yang ditinggalkan kakek hingga Emak harus kelelahan dan kurang istirahat, belum lagi memikirkan aku yang sudah jarang pulang ke kampung halaman, sedih membayangkan Emak harus sendiri disana. Setelah mendapat gelar, aku mendapat kesempatan bekerja di sebuah institusi pendidikan, aku pun menjadi seorang guru kesenian.
Beberapa bulan menjadi seorang guru, aku banyak sekali mendapat pelajaran berharga tentang bagaimana mendidik anak-anak harapan bangsa. Liburan semester ini aku akan pulang kekampung, rindu aku dengan Emak.Tiba-tiba aku menerima sepucuk surat dari Emak, yang menyuruh aku untuk bergegas pulang kampung karena Emak sedang sakit. Tetapi aku tidak bisa bergegas untuk pulang karena disini tanggung jawab pekerjaan masih banyak. Dan dilema pun mengiang.
***
Sementara debu-debu kotoran kota melapisi kulit dusunku, asap-asap kematian mengepul berputar diatas ubun-ubunku. Perjuangan hidupku dibayar dengan hasil yang sangat memuaskan. Aku menjadi Pegawai Negri Sipil dan hidupku cukup mapan. Teringat aku pada Emak setelah beberapa kali liburan aku tidak pulang kekampung. Aku terbius bunga-bunga kota yang harum sehingga melupakan lebah yang menyebar bibit. Aku putuskan untuk pulang kekampung besok.
Gelap-gelap sunyi malam hari dan nyanyian-nyanyian jangkrik kota melengkapi sunyi-sunyi malam kelam. Tiba-tiba seorang bapak separuh baya mengetuk pintu. “Assalamualikum!” salam bapak itu dan bergegas aku membuka pintu. “Alaikumsalam” jawabku sambil membuka pintu. Terkejut aku ketika melihat wajah bapak paruh baya itu. “Masya Allah, Mahmud, apa kabar?!” tegurku terkejut. “Alhamdulillah baik Li, gimana kamu kabarmu?, sudah sukses kho lupa kampung halaman”. Tiba-tiba Mahmud menyindirku. Mahmud adalah temanku dikampung halaman, dia juga merantau ke Jakarta untuk berdagang pakaian. Mahmud seorang juragan pakaian di Pasar Jati Negara. “Maksud kedatanganku kesini untuk mengabarkan berita dari kampung Li”. Mahmud membuka obrolan. “Ada kabar apa dari kampung Mud?” tanyaku singkat. “Emakmu sakit parah dan kamu harus segera pulang kekampung!, setiap malam Emakmu itu menyebut namamu Li, beliau ingin sekali berjumpa denganmu anak satu-satunya” jelas Mahmud. Tiba-tiba air mata mengalir deras penuh penyesalan, aku sudah melupakan petuah Emak dan kakek dan aku sangat menyesal. “Aku menyesal Mud, rasanya kesukseksan aku ini tak ada artinya kalau ternyata aku melupakan pesan Emak dan alm kakek” ungkap sesalku pada Mahmud. “Sudahlah, yang terpenting kamu harus pulang besok denganku!” singkat Mahmud.
Angin-angin kesunyian pagi hari, sementara hujan gerimis membasahi tanah kota yang kotor dan menyisakan bau-bau debu kering, matahari timur pun masih tersenyum menyengat daun-daun kering pinggir jalan. Hatiku gelisah penuh penyesalan, tidak karuan pikiranku pagi ini. Akhirnya aku dan Mahmud pulang kekampung, diperjalanan hatiku tidak tenang khawatir dengan keadaan Emak, sementara hatiku disisi lain retak dengan penyesalan. “Perasaanku tidak karuan Mud?” tegurku pada Mahmud membuka obrolan. “berdoa saja semoga Emakmu baik disana” jawab Mahmud menenangkan pikiranku.
***
Kembali aku mendengar melodi ai-air sungai dan melihat permadani yang nampaknya terlihat kuning, permadani yang siap digulung dan menjadi kertas penghidupan. Sementara dari kejauhan nampak gubuk sederhana terlihat. “Banyak orang dirumahku Mud?” tanyaku kebingungan dalam kekhawatiran. “Mungkin tetangga yang menjenguk Li” singkat Mahmud. Tiba-tiba seorang lelaki bergegas belari menujuku dan Mahmud. Dia Akbar teman masa kecilku juga. “Ali...Ali..!!!” sambil tersengal Akbar menghampiriku. “Emakmu Li...Emakmu?!!” Akbar menegur sambil menarik tanganku. “Ada apa dengan Emak Bar??” aku bertanya dengan hati penuh khawatir. “Emakmu...meninggal dunia Li !!”. Aku sangat terkejut, tubuhku lemas dan aku bertekuk lutut didepan gubuk sederhana ini, sementara hujan turun dengan perlahan dan air mata mengalir deras tak terbendung, kegelisahanku akhirnya terjadi menjadi kenyataan. Bale-bale menjadi saksi bisu masa laluku kini menjadi tempat berbaring seorang lentera dalam hidupku, cahaya jalan gelapku. Emak kini telah tiada meninggalkan aku dan keindahan alam kampungku, meninggalkan harapan-harapanku. Aku hanya bisa berkata, “Maafkan Ali Mak”.
Mohd GR.alMusyair
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H